Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Publikasi Motif Kejahatan di Media Massa Jadi Inspirasi: "Saya Memerkosa Karena Pengaruh Miras dan Pornografi, Bu Menteri"

23 Mei 2016   10:20 Diperbarui: 23 Mei 2024   06:54 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan ini motif dan cara-cara melakukan kejahatan bagaikan copy-paste dari penyebarluasan pengakuan pelaku kejahatan tentang alasan tindak pidana yang mereka lakukan. Penyebarluasan motif dan alasan pelaku kejahatan dilakukan oleh media massa, terutama televisi, dan media sosial. Polisi pun ringan tangan memberikan hasil pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan, bahkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada wartawan.

Selain penyebarluasan motif sebagai alasan pelaku kejahatan, ada pula dua menteri yang menempatkan diri sebagai ‘pembela’ pelaku kejahatan, khususnya pelaku kejahatan seksual dengan mengatakan pelaku berada di bawah pengaruh miras (minuman keras, lebih tetap disebut minuman mengandung alkohol) dan akibat pornografi, yang lebih tepat karena menoton film atau video porno.

Tindak Pidana Berencana

Motif sebagai alasan pelaku kejahatan, terutama kejahatan seksual, tidak perlu diumbar ke masyarakat melalui pernyataan ke wartawan. Begitu pula dengan polisi, BAP itu ‘kan termasuk rahasia jabatan yang hanya boleh diketahui tersangka dan pengacaranya serta korban.

Kalau menteri dan polisi bermurah hati dengan memberikan kesaksian yang meringankan bagi pelaku kejahatan seksual, ya, UU sudah mengaturnya yaitu di sidang pengadilan bukan di media massa dan media sosial. Sidang ini pun tertutup kecuali pembacaan dakwaan oleh jaksa dan pembacaan vonis oleh hakim.

Terkatit dengan pengaruh miras, kita perlu berkaca ke Amerika Serikat (AS). Hukum di sana membuat kategori atau klassifikasi, yaitu: 

(1) Jika seorang pengemudi kendaraan bermotor di jalan raya ditangkap dan tes alkohol menunjukkan pengemudi meminum alkohol dengan kondisi kadar alkohol melewati atas ambang batas tidak terjadi kecelakaan lalu lintas, maka ybs. dikategorikan sebagai pelaku percobaan pembunuhan.

(2) Jika terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengemudi dengan hasil tes kadar alkohol di atas ambang batas ada korban mati, maka pengemudi dikategorikan sebagai pelaku pembunuhan berencana.

(3) Jika terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengemudi dengan hasil tes kadar alkohol di atas ambang batas ada korban cidera atau luka-luka, maka pengemudi dikategorikan sebagai pelaku percobaan pembunuhan.

Nah,  klassifikasi dan pengkategorian di atas jadi pertimbangan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual di Indonesia, yaitu:

(a) Melakukan kejahatan seksual yaitu pelecehan seksual: jika pelaku di bawah pengaruh minuman beralkohol dan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) serta pengaruh karena menonton video atau film porno, diklassifikasi sebagai tindak pidana berencana.

(b) Melakukan kejahatan seksual yaitu perkosaan:  jika mereka di bawah pengaruh minuman beralkohol dan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) serta pengaruh karena menonton video atau film porno diklassifikasi sebagai tindak pidana berencana.

(c) Melakukan kejahatan seksual (pelecehan seksual dan perkosaan) dan membunuh korban: jika di bawah pengaruh minuman beralkohol dan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) serta pengaruh karena menonton video atau film porno diklassifikasi sebagai tindak pidana pembunuhan berencana dengan pemberatan pelecehan seksual dan perkosaan berencana.

Di awal tahun 1990-an ada kasus perkosaan yang dilakukan oleh seorang pemuda terhadap seorang mahasiswi di Kota Bogor, Jawa Barat. Anak muda itu tertangkap. Kepada polisi dia mengatakan melakukan perkosaan karena pengaruh film porno yang baru ditontonnya di sebuah bioskop di Tajur, Kota Bogor. Terkait dengan hal ini, waktu itu liputan untuk Tabloid “MUTIARA” Jakarta, penulis mewawancarai Yulia Singgih D Gunarsa, psikolog di sebuah sekolah di Jakarta. Ada beberapa hal yang tidak bisa diterima dari pernyataan anak muda itu, yaitu:

Pertama, tidak mungkin bioskop di Tajur itu memutar film porno, apalagi pada jam bisa yaitu antara pukul 18.00 – 22.000.

Menggiring Opini Publik

Kedua, kalau benar film (porno) yang ditonton anak muda itu berpengaruh, maka logikanya semua laki-laki yang menonton bersama anak muda itu akan memerkosa juga.

Fakta menunjukkan hanya satu kasus perkosaan pada malam pemutaran film itu, yakni anak muda tadi. Maka, “Yang bermasalah hanya dia (anak muda tadi-pen.),” kata Yulia waktu itu. Artinya, anak muda itu punya masalah dengan perilakunya. Dan, ternyata Yulia benar karena belakangan dia mengaku sudah lama mengincar mahasiswi itu.

Nah, patut juga dipernyatakan mengapa seorang menteri bisa mengaitkan secara langsung kejahatan seksual dengan pornografi sebagai pembelaan terhadap pelaku kejahatan seksual: Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise,  yang mengatakan bahwa pornografi merupakan pemicu utama kekerasan seksual terhadap anak (CNN Indonesia, 5/5-2016). Penyataan lain Menteri Yohana: Menteri Yohana: Para Predator Sekitar 90 Persen Akibat Situs-situs Pornografi (jakartamonitor.com4/5-2016).

Hal yang sama juga pantas dilihat sebagai pembelaan terhadap pelaku kejahatan seksual ketika Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa menganggap, konten pornografi dan minuman keras, menjadi salah satu pemicu awal tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan (republika.co.id, 16/5-2016).

Penyebarluasan pernyataan bahwa miras dan pornografi sebagai motif dan alasan melakukan kejahatan seksual menggiring opini publik bahwa ada “jalan pintas” pembelaan jika melakukan kejahatan seksual yaitu: “saya memerkosa karena pengaruh miras”, “saya tergiur memerkosa karena habis nonton video porno”, dst.

Penyebarluasan motif-motif kejahatan pun memicu perilaku menerabas dan menjadikan motif tsb. sebagai jlaan pintas menyelesaikan masalah. Hanya karena tersinggung, terhina, ditipu, istri diselingkuhi, dimarahi majikan, dst. jadi alasan untuk membunuh. Ini copy-paste dari pernyataan pelaku kejahatan yang disiarkan televisi.

Media massa, terutama televisi, menempatkan pelaku kejahatan sebagai pahlawan dengan memberi ruang membela diri. Padahal, pembelaan hanya bisa dilakukan di sidang pengadilan. Tapi, rupanya sebagian besar media massa dan media sosial nasional sudah menempatkan diri sebagai ‘ruang sidang pengadilan’.

“Habis, istri saya menolak.” Itulah alasan seorang ayah yang diberitakan media massa sebagai alasannya memerkosa anak kandungnya. Ada pula seorang laki-laki, Suyetno alias Sisu (38), di Pematangsiantar, Sumut, yang memerkosa gadis cilik berumur 10 tahun yang dititipkan dirumahnya karena orang tua gadis itu bepergian ke luar kota, mengaku jarang dilayani istrinya sejak pelaku menderita penyakit sifilis (kompas.com, 17/5-2016).

Selama setengah orang tetap menyalahkan perempuan yang jadi korban kejahatan seksual sebagai pihak yang salah dan membela pelaku karena pengaruh miras dan pornografi, maka selama itu pula kejahatan seksual, bahkan dengan pembunuhan, akan terus terjadi. Celakanya, sanksi hukum positif sangat kecil dan sanksi-sanksi yang lain pun tidak membuat orang berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan seksual.

Maka, media massa dan media sosial serta hukum (polisi, jaksa dan hakim) harus membalik paradigma  berpikir dan bersikap yaitu berpihak pada korban kejahatan seksual bukan membela pelaku kejahatan seksual seperti yang terjadi sekarang. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun