Media massa, terutama televisi, menempatkan pelaku kejahatan sebagai pahlawan dengan memberi ruang membela diri. Padahal, pembelaan hanya bisa dilakukan di sidang pengadilan. Tapi, rupanya sebagian besar media massa dan media sosial nasional sudah menempatkan diri sebagai ‘ruang sidang pengadilan’.
“Habis, istri saya menolak.” Itulah alasan seorang ayah yang diberitakan media massa sebagai alasannya memerkosa anak kandungnya. Ada pula seorang laki-laki, Suyetno alias Sisu (38), di Pematangsiantar, Sumut, yang memerkosa gadis cilik berumur 10 tahun yang dititipkan dirumahnya karena orang tua gadis itu bepergian ke luar kota, mengaku jarang dilayani istrinya sejak pelaku menderita penyakit sifilis (kompas.com, 17/5-2016).
Selama setengah orang tetap menyalahkan perempuan yang jadi korban kejahatan seksual sebagai pihak yang salah dan membela pelaku karena pengaruh miras dan pornografi, maka selama itu pula kejahatan seksual, bahkan dengan pembunuhan, akan terus terjadi. Celakanya, sanksi hukum positif sangat kecil dan sanksi-sanksi yang lain pun tidak membuat orang berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan seksual.
Maka, media massa dan media sosial serta hukum (polisi, jaksa dan hakim) harus membalik paradigma berpikir dan bersikap yaitu berpihak pada korban kejahatan seksual bukan membela pelaku kejahatan seksual seperti yang terjadi sekarang. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H