Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Geger Jalur Independen, DPR ‘Hambat’ Calon Perseorangan Bukti ‘Kekerdilan’ Parpol

22 April 2016   18:39 Diperbarui: 22 April 2016   18:46 1096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


 

Ternyata ‘perahu’ yang banyak tidak semerta bisa membawa banyak ‘penumpang’. Data menunjukkan jumlah pasangan calon pada pilkada (pemilihan langsung kepala daerah) terus berkurang. Belum ada penjelasan tentang realitas politik itu. Yang terjadi justru gerakan memilih calon independen atau perseorangan yang mulai menunjukkan efek domino.

Sebelum Ahok memilih jalur independen sudah ada berapa pasangan perseorangan di beberapa daerah. Tapi, gaungnya tidak kencang karena tidak ada gesekan. Sedangkan Ahok membuat partai politik (parpol) bak kebakaran jenggot karena menjelang Pilgub DKI 2017 beberapa parpol sudah melirik Ahok sebagai calon yang akan mereka usung.

Banyak kalangan yang takut langkah Ahok akan merembet ke seluruh Nusantara sebagai efek domino. Maka, benar adanya anggapan itu karena di Yogyakarta ada JOIN yang juga menjadi ‘perahu’ bagi calon perseorangan (Jalur Independen, Kota Jogja Susul Ahok).

‘Senayan’ pun geger. Beberapa fraksi di DPR pun angkat bicara dengan menaikkan persyaratan calon perseorangan dalam RUU Pilkada antara 11,5-15 persen dari jumlah penduduk. Padahal, di UU No 8/2015 persyaratan hanya 6,5-10 persen dari jumlah penduduk. Karena persyaratan ini tidak adil, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan persyaratan 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap (DPT) bukan dari jumlah penduduk. MK benar karena tidak semua penduduk mempunyai hak pilih.

Langkah DPR yang mengangkangi keputusan MK akan mendorong masyarakat kian memalingkan muka dari ‘Senayan’ yang dihuni oleh wakil-wakil partai melalui fraksi. Usaha DPR menghadang calon pejabat publik di provinsi, kabupaten dan kota melalui peraturan yang mereka buat menunjukkan mereka bukan wakil rakyat.

DPR memakai kekuasaan yang mereka miliki sebagai kewenangan secara berlebihan. Buktinya, syarat calon perseorangan mereka perberat sebaliknya calon yang diusung parpol diperingan. Di UU No 8/2015  parpol yang bisa mengusung calon adalah parpol dengan 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari suara sah pemilukada. Dalam draf RUU Pilkada angka-angka itu justru diturunkan jadi 15 persen kursi di DPRD dan 10 persen suara sah.

Gonjang-ganjing calon independen ini pun mengusuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari kunjungannya ke Eropa presiden angkat bicara dengan mengatakan tidak ingin syarat perseorangan kepala daerah diperberat. “Presiden pun meminta Kementerian Dalam Negeri bertahan dengan syarat dukungan yang sudah ada, yaitu minimal 6,5-10 persen dari jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap pemilu terakhir di daerah terkait.” (Harian KOMPAS, 22/4-2016).

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengingatkan, ide awal dibukanya kesempatan bagi calon perseorangan dalam pillkada adalah agar calon yang diusulkan dari aspirasi masyarakat, tetapi tidak mempunyai kekuatan parpol, tetap bisa berlaga (Harian KOMPAS, 22/4-2016).

Apakah dengan memperberat syarat calon perseorangan otomatis ‘perahu’ (baca: parpol) akan penuh dengan calon kepala daerah?

Tentu saja tidak.

Soalnya, penampilan kader-kader partai yang menjabat pejabat publik yang terlibat kasus korupsi membuat banyak orang berpaling dari parpol dan mengusung calon yang mereka jagokan. Jika kelak 'jagoan' mereka dihadang tidak menutup kemungkinan jalur 'golput' jadi piliha (Parpol Panik, Syarat Jalur Independen Dipersulit, Jalur “Golput” Jadi Pilihan).

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, ada 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah (kompas.com, 4/2-2015). Itu data sampai Februari 2015. Artinya dari 524 kepala daerah yaitu gubernur, bupati dan walikota 343 di antaranya merampok uang rakyat atau menerima suap. Ini 65,46 persen pejabat publik terjerat kasus korupsi dan suap.

Jumlah pasangan yang maju pada pilkada serentak tahun 2015 berkurang jika dibandingkan dengan jumlah pasangan yang maju pada pilkada tahun 2010. Fakta menunjukkan dari satu pilkada ke pilkada lain jumlah kontestan yang diusung parpol justru berkurang. Pilkada tahun 2010 diikuti oleh 1.083 pasangan calon bertarung pada 244 pilkada. Tahun 2015 pilkada diikuti oleh 827 pasangan pada 269 pilkada (KOMPAS, 21/4-2016).

Dengan syarat yang rencah saja ternyata calon perseorangan pun tidak bertambah, tapi tetap menjadi opsi atau pilihan bagi orang-orang yang ingin maju pada pilkada. Pada pilkada serentak tahun 2015, misalna, dari 827 pasangan hanya 137 pasangan yang maju dari jalur independen atau 16,57 persen (KOMPAS, 21/4-2016).

Salah satu faktor yang menyebabkan jumlah pasangan turun adalah ada parpol yang tidak mengajukan calon kepala daerah. Celakanya, dalam draf RUU Pilkada tidak ada sanksi bagi parpol yang tidak mengusung calon kepala daerah ada pilkada.

Menghambat laju calon perseorangan dan tidak memberikan sanksi bagi parpol yang tidak mengusung calon pada pilkada merupakan ancaman besar terhadap kelangsungan demokrasi di Indonesia. 

Lagi-lagi hal itu menunjukkan DPR hanya mementingkan diri sendiri. Maka, kalau DPR tetap ngotot menaikkan syarat calon perseorangan itu artinya parpol mengerdilkan diri dengan membuat benteng yang justru merendahkan wibawa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan kerdil adalah idak berkembang, tidak maju; picik (tt pikiran, pandangan, dsb). ***

Ilustrasi (Sumber: politic365.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun