Ternyata ‘perahu’ yang banyak tidak semerta bisa membawa banyak ‘penumpang’. Data menunjukkan jumlah pasangan calon pada pilkada (pemilihan langsung kepala daerah) terus berkurang. Belum ada penjelasan tentang realitas politik itu. Yang terjadi justru gerakan memilih calon independen atau perseorangan yang mulai menunjukkan efek domino.
Sebelum Ahok memilih jalur independen sudah ada berapa pasangan perseorangan di beberapa daerah. Tapi, gaungnya tidak kencang karena tidak ada gesekan. Sedangkan Ahok membuat partai politik (parpol) bak kebakaran jenggot karena menjelang Pilgub DKI 2017 beberapa parpol sudah melirik Ahok sebagai calon yang akan mereka usung.
Banyak kalangan yang takut langkah Ahok akan merembet ke seluruh Nusantara sebagai efek domino. Maka, benar adanya anggapan itu karena di Yogyakarta ada JOIN yang juga menjadi ‘perahu’ bagi calon perseorangan (Jalur Independen, Kota Jogja Susul Ahok).
‘Senayan’ pun geger. Beberapa fraksi di DPR pun angkat bicara dengan menaikkan persyaratan calon perseorangan dalam RUU Pilkada antara 11,5-15 persen dari jumlah penduduk. Padahal, di UU No 8/2015 persyaratan hanya 6,5-10 persen dari jumlah penduduk. Karena persyaratan ini tidak adil, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan persyaratan 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap (DPT) bukan dari jumlah penduduk. MK benar karena tidak semua penduduk mempunyai hak pilih.
Langkah DPR yang mengangkangi keputusan MK akan mendorong masyarakat kian memalingkan muka dari ‘Senayan’ yang dihuni oleh wakil-wakil partai melalui fraksi. Usaha DPR menghadang calon pejabat publik di provinsi, kabupaten dan kota melalui peraturan yang mereka buat menunjukkan mereka bukan wakil rakyat.
DPR memakai kekuasaan yang mereka miliki sebagai kewenangan secara berlebihan. Buktinya, syarat calon perseorangan mereka perberat sebaliknya calon yang diusung parpol diperingan. Di UU No 8/2015 parpol yang bisa mengusung calon adalah parpol dengan 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari suara sah pemilukada. Dalam draf RUU Pilkada angka-angka itu justru diturunkan jadi 15 persen kursi di DPRD dan 10 persen suara sah.
Gonjang-ganjing calon independen ini pun mengusuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari kunjungannya ke Eropa presiden angkat bicara dengan mengatakan tidak ingin syarat perseorangan kepala daerah diperberat. “Presiden pun meminta Kementerian Dalam Negeri bertahan dengan syarat dukungan yang sudah ada, yaitu minimal 6,5-10 persen dari jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap pemilu terakhir di daerah terkait.” (Harian KOMPAS, 22/4-2016).
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengingatkan, ide awal dibukanya kesempatan bagi calon perseorangan dalam pillkada adalah agar calon yang diusulkan dari aspirasi masyarakat, tetapi tidak mempunyai kekuatan parpol, tetap bisa berlaga (Harian KOMPAS, 22/4-2016).
Apakah dengan memperberat syarat calon perseorangan otomatis ‘perahu’ (baca: parpol) akan penuh dengan calon kepala daerah?