Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pak Wagub Djarot, Wajib Tes HIV bagi PNS DKI Justru Akan Menambah Jumlah Odha di Jakarta

1 April 2016   18:25 Diperbarui: 1 April 2016   18:32 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat mengeluarkan surat edaran bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Ibu Kota untuk melakukan pemeriksaan HIV-AIDS.” Ini lead pada berita “Djarot: PNS DKI Wajib Periksa HIV-AIDS” (news.okezone.com, 24/3-2016).

Ada beberapa hal yang terkait dengan surat edaran ini:

Pertama, tes HIV, juga tes penyakit lain kecuali penyakit yang sedang mewabah, harus dengan sukarela dan didahului dengan konseling dan ada pula konseling setelah tes. Setelah konseling ada pernyataan kesediaan tes HIV.

Tes HIV Program di Hilir

Kedua, jika surat edaran itu tidak memberikan pilihan yaitu semua PNS wajib tes HIV, maka itu artinya terjadi perbuatan melawan hukum dan pelangaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Agar tidak melawan hukum tes HIV dilakukan bagi (a) PNS yang berobat IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.), (b) PNS yang berobat TBC, (c) PNS yang sedang hamil, dan (d) PNS yang berobat di fasilitas kesehatan Pemprov DKI dengan biaya pemerintah provinsi.

Ketiga, tes HIV bukan vaksin. Artinya, ketika ada PNS DKI yang hasil tesnya negatif itu tidak berarti PNS itu akan selamanya tidak mengidap HIV/AIDS. Bisa saja setelah tes PNS tsb. melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV. Maka, Pemprov DKI Jakarta harus melakukan tes HIV terhadap PNS rutin sepanjang PNS itu belum pensiun.

Keempat, mewajibkan semua PNS tes HIV itu artinya Pemprov DKI Jakarta menyamaratakan perilaku seksual semua PNS. Ini amat sangat tidak etis. PNS yang menjaga perilaku seksnya akan merasa terhina karena harus tes HIV sebagai bagian dari PNS yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV.

Kalau saja Pak Wagub lebih arif, maka tes HIV dianjurkan kepada PNS yang perilakunya berisiko tertular HIV. Ini bisa dijalankan dengan konseling per unit atau bagian di pemprov.

Dalam berita disebutkan: “ .... kebijakan tersebut diberlakukan guna mengetahui sejauh mana peta dari penyakit yang belum ditemukan obatnya tersebut.”

Yang jelas tes HIV itu adalah program di hilir, yaitu ada PNS yang sudah tertular HIV. Artinya, Pak Wagub “membiarkan” ada PNS yang tertular HIV karena perilakunya yang berisiko, al. (1) sering melakukan hubungan seksual tanpa kndom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (2) sering melakukan hubungan seksual tanpa kndom dengan sesoerang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan/atau PSK tidak langsung.

(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.

(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Yang diperlukan bukan tes HIV, tapi program konkret di hulu agar insiden infeksi HIV terhadap PNS bisa diturunkan, al. melalui program ‘wajib pakai kondom’ bagi laki-laki yag ngeseks dengan PSK langsung. Ini tentu sulit karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir. Sedangkan terhadap PSK tidak langsung adalah hal yang mustahil melakukan intervensi karena mereka ‘bekerja’ di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Ini lagi-lagi pernyata Wagub Djarot: "Apa karena seks bebas yang beresiko, apa karena narkoba, atau karena perilaku yang menyimpang? Kita harus tahu terlebih dahulu."

Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksula (seks bebas, zina, melacur, homoseksual, dll.), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS, laki-laki tidak memakai kondom).

Jumlah Kasus Bertambah

“Menyimpang” adalah frasa moral yang tidak objektif. Kalau yang disebut menyimpang adalah zina, maka laki-laki atau perempuan yang bersuami atau beristri juga harus disebut menyimpang ketika mereka berzina (seks dengan PSK atau gigolo) atau berselingkuh.

Ada pernyataan Wagub Djarot: Djarot mengimbau, seluruh PNS di lingkungan Pemprov DKI tak khawatir dengan aturan ini. Menurutnya, penyakit HIV/AIDS masih dapat diobati asalkan mampu 'membunuh' virusnya.

Justru yang jadi persoalan besar adalah tidak ada obat yang bisa membunuh (virus) IHV di dalam tubuh. Selain itu AIDS jelas tidak akan pernah ada obatnya karena AIDS bukan penyakit. Penyebutan penyakit terhadap AIDS adalah terminologi atau istilah yang merujuk ke kondisi seseorang pengidap HIV yang sudah masuk masa AIDS yang secara statistik antara 5-15 tahun.

Obat yang ada sekarang adalah obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menahan laju HIV menggandakan diri di dalam darah. Sejak HIV masuk ke dalam tubuh seseorang, maka HIV akan mereplikasi diri di sel-sel darah putih dan membentuk HIV baru yang jumlah setiap hari antara miliaran sampai triliunan virus baru. Dengan menahan replikasi maka masa AIDS pun bisa ‘ditunda’sehingga orang-orang yang mengidap HIV dengan meminum obat ARV akan tetap bisa hidup layak seperti sebelum tertular HIV.

Maka, pernyataan Wagub Djarot ini tidak akurat: "Jadi enggak usah takut dan khawatir. Kalaupun memang terkena, kita bisa obati supaya tidak menjadi AIDS. ....”

Bukan mengobati supaya tidak menjadi AIDS, tapi menahan laju replikasi HIV di dalam darah sehingga masa AIDS bisa ‘ditunda’. Masa AIDS ditandai dengan penyakit yang mudah masuk ke tubuh pengidap HIV/AIDS karena sistem kekebalan tubuhnya sangat rendah. Ini diukur dari CD4 yang diketahui melalui tes darah. WHO memberikan batas CD4 di bawah 200 dikategorikan masa AIDS. Sedangkan untuk mulai minum obat ARV dengan kondisi CD4 350.

Dalam berita Wagub Djarot beranggapan dengan mewajibkan tes HIV bagi seluruh PNS Pemprov DKI maka populasi Odha (Orang dengan HIV/AIDS) di Jakarta bisa ditekan. Justru dengan tes HIV itu jumlah kasus Odha di Jakarta akan meningkat karena bertambah dari hasil tes wajib itu.

Laporan Ditjen PP&P, Kemenkes RI, tanggal 26 Februari 2016 menyebutkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Jakarta adalah 47.440 yang terdiri atas 39.347 HIV dan 8.093 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jakarta pada peringkat pertama jumlah kasus secara nasional.

Selama Pemprov DKI Jakarta tidak melakukan intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Itu artinya Pemprov DKI Jakarta tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap –AIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun