[caption caption="Anak-anak memanfaatkan mobil perpustakaan keliling | KOMPAS/IWAN SETIYAWAN"][/caption]Di banyak tempat, mulai dari restoran, kafe, bus kota, sampai ke gerbong kereta api (KRL) yang tampak hanyalah orang-orang yang menunduk. Harian “KOMPAS” (3/2-2015) menyebut kondisi itu sebagai ‘generasi nunduk’. Mereka asyik-maksyuk membaca status di Facebook, Twitter, WhatsAp, dll.
Kondisi itu merupakan realitas sosial terkait dengan minat baca. Studi UNESCO (2011) menunjukkan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari seribu penduduk Indonesia hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca yang tinggi (selasar.com, 29/5-2015).
Maka, dengan kondisi itu jumlah buku yang dilahap penduduk Indonesia pun rata-rata hanya 1 buku per tahun. Bandingkan dengan masyarakat Jepang yang membaca buku antara 10 - 15, dan negara lain di Asia 1 - 3 buku (beritametro.co.id, 1/9-2015).
Dengan minat baca yang tinggi di banyak negara, maka pengeluaran untuk membeli buku pun besar. Sedangkan Indonesia, hasil survei tahun 2012, menempati peringkat 124 dari 187 negara yang menjadikan pengeluaran untuk membeli buku sebagai kebutuhan primer (selasar.com, 29/5-2015).
Apakah dengan kondisi di atas membangun perpustakaan dengan biaya Rp 570 miliar akan berguna?
[caption caption="Koleksi Pribadi"]
Kondisi Indonesia dalam kaitan menuju masyarakat gemar membaca (reading society) sangat buruk karena jauh-jauh hari sebelum seorang anak belajar membaca dan menulis mereka sudah masuk ke ranah masyarakat gemar nonton (filming society) yaitu menonton televisi. Celakanya, ketika di PAUD, TK, SD, sampai SMA anak-anak itu terus-menerus berada di ranah filming society yaitu menonton film, video, Internet, sampai ponsel. Bahkan, ponsel yang mereka mempunyai fitur layar sentuh.
Padahal, untuk sampai pada ranah reading society anak-anak itu memerlukan proses yang panjang, khususnya di sekolah, yaitu di SD, SMP sampai SMA membaca dan menulis dengan banyak variasi (Lihat Matriks).
Yang jadi pertanyaan besar, khususnya untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Anies Baswedan, apakah kegiatan-kegiatan seperti pada matriks menjadi bagian dari program di sekolah?
Menulis, dalam hal ini mengarang, sudah mulai ditinggalkan. Begitu pula dengan membaca novel dan puisi juga tidak lagi menjadi materi yang penting di sekolah.
Di negara maju setelah reading society barulah sampai pada tahap writing society. Celakanya, di Indonesia ‘budaya menulis’ sangat rendah. Indikatornya antaralain adalah tingkat pengiriman surat yang sangat kecil. Pengelola pos berkilah tingkat berkirim surat yang rendah itu terjadi karena ada fasilitas telepon dan SMS. Namun, ini bisa dibantah: Mengapa di Singapura, misalnya, dengan densitas telepon yang hampir 100 persen dan pemilikan ponsel yang juga besar frekuensi berkirim surat tetap tinggi?
Setelah writing society masyarakat di negara maju menikmati film sebagai filming society. Film yang mereka tonton pun jauh berbeda dengan sebagian besar film produksi nasional yang sama sekali tidak menggugah sehingga tidak bisa sebagai agent of change.
Sangat berbeda dengan Indonesia sejak awal kehidupan sudah berhadapan dengan filming society sehingga alur alamiah dari reading society ke writing society dan terakhir pad filming society tidak berjalan dengan mulus. Hal ini tidak mengherankan karena sensus BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). (selasar.com, 29/5-2015).
‘Dosa’ besar stasiun televisi adalah merusak tantanan sosial dengan sajian yang sebagian besar tidak berfungsi sebagai agent of change sehingga tidak terjadi perubahan perilaku positif dan pembangunan manusia. Televisi pun mengubah media habit masyarakat sehingga minat baca yang sangat rendah (Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat).
Untuk itulah salah satu upaya mengembalikan alur alamiah dari agar masyarakat gemar membaca adalah membangun ‘rumah baca’ di tiap kampung, desa atau kelurahan. Artinya, mendekatkan buku ke masyarakat. "Kurangnya asas kebermanfaatan dalam pembuatan perpustakaan mewah DPR. Sebaiknya uang sebesar Rp 570 miliar tersebut digunakan untuk membuat 1.000 perpustakaan di wilayah terdepan Indonesia. Sehingga anak-anak Indonesia tidak sulit mengakses perpustakaan." Ini pernyataan Sekjen FITRA, Yenny Sucipto (merdeka.com, 30/3-2016).
Dari pada membangun perpustakaan dengan dana ratusan miliar rupiah yang berangan-angan bak ‘Library of Congress’ tapi minat baca penduduk sangat rendah adalah lebih baik mendorong minat baca.
Seperti yang sering disampaikan Presiden Joko Widodo sekarang dimulai dari pinggir, al. dari desa, maka amatlah pas kalau kemudian dana yang ratusan miliar rupiah itu dipakai membangun ‘rumah baca’ di setiap kampung, desa, atau keluruhan dari Sabang sampai Merauke. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H