Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hiruk-pikuk Perpus DPR vs Minat Baca yang Terpuruk di Titik Nadir

31 Maret 2016   11:52 Diperbarui: 1 April 2016   04:35 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah writing society masyarakat di negara maju menikmati film sebagai filming society. Film yang mereka tonton pun jauh berbeda dengan sebagian besar film produksi nasional yang sama sekali tidak menggugah sehingga tidak bisa sebagai agent of change.

Sangat berbeda dengan Indonesia sejak awal kehidupan sudah berhadapan dengan filming society sehingga alur alamiah dari reading society ke writing society dan terakhir pad filming society tidak berjalan dengan mulus. Hal ini tidak mengherankan karena sensus BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). (selasar.com, 29/5-2015).

‘Dosa’ besar stasiun televisi adalah merusak tantanan sosial dengan sajian yang sebagian besar tidak berfungsi sebagai agent of change sehingga tidak terjadi perubahan perilaku positif dan pembangunan manusia. Televisi pun mengubah media habit masyarakat sehingga minat baca yang sangat rendah (Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat).

Untuk itulah salah satu upaya mengembalikan alur alamiah dari agar masyarakat gemar membaca adalah membangun ‘rumah baca’ di tiap kampung, desa atau kelurahan. Artinya, mendekatkan buku ke masyarakat. "Kurangnya asas kebermanfaatan dalam pembuatan perpustakaan mewah DPR. Sebaiknya uang sebesar Rp 570 miliar tersebut digunakan untuk membuat 1.000 perpustakaan di wilayah terdepan Indonesia. Sehingga anak-anak Indonesia tidak sulit mengakses perpustakaan." Ini pernyataan Sekjen FITRA, Yenny Sucipto (merdeka.com, 30/3-2016).

Dari pada membangun perpustakaan dengan dana ratusan miliar rupiah yang berangan-angan bak ‘Library of Congress’ tapi minat baca penduduk sangat rendah adalah lebih baik mendorong minat baca.

Seperti yang sering disampaikan Presiden Joko Widodo sekarang dimulai dari pinggir, al. dari desa, maka amatlah pas kalau kemudian dana yang ratusan miliar rupiah itu dipakai membangun ‘rumah baca’ di setiap kampung, desa, atau keluruhan dari Sabang sampai Merauke. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun