Hubungan saya dan adik-adik dengan Aci seperti biasa. Kami menghargainya dengan panggilan yang umum, maaf, saya lupa. Aci memanggil Damang dan Dainang dengan panggilan Angkang (Abang/Kakak).
Saya lupa berapa lama Aci kerja jadi sais. Belakangan dia berhenti. Sadu dan kuda pun dijual karena tidak ada yang mengurus.
Nah, saya bandingkan dengan situasi sekarang di abad ke-21 dengan informasi yang luas, pola pikir yang cerdas, saluran informasi yang banyak, tapi resistensi dan penolakan terhadap waria justru jauh lebih besar. Padahal, informasi tentang LGBT dalam kaitan dengan kehidupan sosial sangat banyak sehingga membuka wawasan yang luas.
Jika dibandingkan dengan awal tahun 1970-an informasi dan pengetahuan tentang waria nyaris tidak ada. Mungkin yang ada hanya pemahaman orang-orang tua berdasarkan pengalaman empiris.
Dengan kondisi itu ternyata alm. Damang bisa membuka diri memberikan pekerjaan kepada seorang banci yang menjadi sasaran cercaan masyarakat luas. Saya tidak bisa membayangkan kalau hal itu dilakukan sekarang yaitu seorang waria jadi sais dokar.
Dari sisi lain saya melihat alm Damang sudah memahami kesetaraan jender sehingga dia tidak mempersoalkan penampilan fisik Aci. Tentu saja waktu itu kesetaraan jender belum dikenal. Walaupun tidak sedikit yang mencaci dan mengejek dengan berbagai tuduhan Damang tetap pada pendiriannya yaitu mempekerjakan Aci sebagai sais dokar.
Saya sudah lama tidak pulang kampung sehingga tidak tahu persis kondisi Aci. Tapi, kalau dia sudah berpuluang, semoga lapang-lapang di kubur dan dapat ampunan dari-Nya .... Amin .... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H