Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Otonomi Daerah yang (Sudah) ‘Memecah Belah’ Bangsa

13 Februari 2016   11:12 Diperbarui: 13 Februari 2016   11:19 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Celakanya, banyak daerah otonomi itu yang tidak mempunyai sumber daya alam (SDA) dan pendapatan asli daerah (PAD) juga sangat minim. Mereka hanya mengandalkan dana dari Pusat.

Kondisinya kian runyam karena di banyak daerah otonomi dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) habis untuk membayar gani pegawai. Ada yang memakai 70 pesen dana APBD untuk gaji pegawai, sementara PAD sangat kecil karena hanya dari pajak dan retribusi. Daera lain yang punya SDA mengeksploitasi SDA tanpa memikirkan dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat.

Maka, hutan lindung dan daerah tangkapan hujan pun ‘disulap’ jadi kebun sawit atau pertambangan terbuka. Penduduk lokal hanya bisa menggerutu dan gigit jari. Kontribusi ke daerah pun sangat kecil dan lapangan kerja juga tidak banyak yang terbuka dari perkebunan.

Yang menyedihkan adalah banyak orang yang tidak memahami Otda. Bahkan, wartawan pun sering salah nalar. Misalnya, bertanya ke penduduk jika ada bencana alam: Apakah pemerintah pusat sudah memberikan bantuan?

Di masa Presiden Gus Dur, Departemen Sosial dibubarkan karena secara hukum urusan sosial daerah ada di pemerintah daerah. Tapi, karena sosialisasi Otda tidak komprehensif ada ‘raja’ yang menggiring opini publik bahwa persoalan semua ada di Jakarta (baca: pemerintah pusat).

Maka, amatlah berasalan kalau kemudian rakyat ‘menuntut’ Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo untuk mempebaiki jalan desa dengan mengunggah kondisi jalan di daerahnya, mengeluhkan listrik, sekolah, dll. Yang tidak boleh ditangani daerah hanya pertahanan keamanan (hankam), moneter dan luar negeri.

Bang Ali

Otonomi pun membuat ‘raja-raja’ mengatus daerahnya dengan patokan kekuatan mayoritas, terutama terkait dengan agama. Ini dimulai dengan pemberian otonomi khusus berdasarkan agama kepada Aceh oleh Presiden Megawati Sukarnoputri sehingga daerah itu menerapkan atuaran agama. Langkah Megawati ini bertentangan dengan UUD ’45 karena mengebiri hak-hak warga negera untuk hidup dan menjalankan agama yang dipeluknya di semua daerah di NKRI.

Untuk pertama kali gubernur dan wakil gubernur terpilih dilantik serentak di Istana (12/2-2016). Ini bukan pertama kali gubernur dilantik oleh presiden dan dilantik di Istana.

Sebelumnya,  di masa Presiden Soekarno dua gubernur dilantik, yaitu Gubernur Sumut, Mr. S.M. Amin (19 Juni 1948) di Pendopo Keresidenan Aceh Provinsi Sumatera Utara, dan Gubernur DKI Jakarta, Bang Ali (Letjen KKO Ali Sadikin) pada tahun 28 April 1966 di Istana.

Kemudian pada tanggal 10 Oktober 2012, Presiden SBY melantik Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur Yogyakarta di Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun