Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hari Pers Nasional 9 Februari: Menunggu Peran Aktif Pers Indonesia Dukung Penanggulangan AIDS

9 Februari 2016   12:16 Diperbarui: 9 Februari 2016   12:36 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media massa tanpa berita kesehatan jalan terus, tapi kesehatan, terutama kesehatan masyarakat, tanpa di-berita-kan (baca: sosialisasi) tidak akan jalan.” Ini disampaikan oleh dr Zulazmi Mamdy, MPH, pakar kesehatan masyarakat di FKM UI. Artinya, ini adalah pameo di kalangan praktisi kesehatan masyarakat.

Tentu saja dr Zul benar karena adalah hal yang mustahil Menteri Kesehatan dan jajarannya sampai ke kabupaten dan kota membawa TOA (pengeras suara) keliling kampung menjelaskan berbagai macam penyakit dan cara penanggulangannya.

Dalam kasus epidemi HIV/AIDS, misalnya, media berhasil 100 persen menggiring opini publik dengan menyebarluaskan berita dari sumber-sumber yang berkompeten tapi menyesatkan. Berita ini misalnya: tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Surjaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.”

Gunung Es

Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, temasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah dan transplantasi organ tubuh.

“Dosa” besar pemerintah menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS justru berawal dari penetapan pemerintah terhadap kasus HIV/AIDS pertama yang diakui secara resmi, yaitu ketika seorang wisatawan gay WN Belanda meninggal di RS Sanglah Denpasar dengan indikasi kematian terkait AIDS. Ada beberapa unsur yang menyuburkan mitos, yaitu: gay (homoseksual, sering pula disebut seks menyimpang oleh orang-orang yang membalut lidah dengan moral), orang asing, orang bule, dll.

Dampak buruk penyebaran berita yang tidak akurat itu menyebabkan masyarakat mengabaikan cara-cara melindungi diri. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian sampai 31 Maret 2015 sudah dilaporkan 233.724 yang terdiri atas 167.339 HIV dan 66.385 AIDS (Kemenkes RI, 2015).

Yang perlu diingat angka yang dilaporkan ini hanyalah sebagian dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus AIDS yang terdeteksi 233.724 digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Biar pun epidemi HIV/AIDS sudah masuk tahun ke-35 pada tahun ini, tapi tetap saja ada media massa, media online dan media sosial yang tetap berpegang teguh pada mitos sebagai pijakan berita tentang HIV/AIDS. Kalau kita membaca atau mendengarkan berita di media massa tetap saja akan muncul pengaitan cara penularan HIV/AIDS dengan ‘perilaku menyimpang’, ‘seks bebas’, dll

Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan sifat hubungan seksual (zina, melacur, seks bebas, seks menyimpang, dll.) karena penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom.

Kondom pun mendapat stigma dari pemberitaan di media massa. Dikesankan sosialisasi kondom sebagai upaya untuk melegalkan zina. Tentu saja ini salah besar karena orang-orabg yang berzina, terutama laki-laki ‘hidung belang’ justru tidak mau pakai kondom karena berbagai alasan. Itu artinya wartawan yang menulis berita tentang kondom tidak melakukan riset dan pengamtan lapangan. Maka, berita itu hanya sebatas talking news yang nilainya sama dengan opini.

Dampak buruk lain dari berita-berita yang hanya berpijak pada mitos adalah stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakukan berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dan nama mereka bocor ke masyarakat. Mitos dan stigma menjadi dampak terburuk akibat berita media massa (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, 2000).

Monster

Ada pula media massa yang justru mencari-cari isu AIDS yang bisa dijadikan sebagai berita yang sensaional. Seperti ini: Boyke Dian Nugraha: Korban AIDS bisa Berubah Mirip Monster. Ada nasihat dari pakar seks, Prof. Dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, untuk siswa SMU tentang bahaya HIV Aids. Seseorang yang terkena Aids, dalam 5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak perduli apakah wania itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah menjadi monster. Hal itu dikemukakan, Boyke Dian Nugraha, saat bebicara dalam seminar yang dihadiri pelajar SMU di Surabaya (29/5). (Harian “Bali Post”, 30/5-2000).

Nah, kalau saja wartawan yang menulis berita ini mau meringankan langkah mencari orang yang sudah tertular HIV lebih dari lima tahun, apakah benar wajah mereka seperti monster. Lalu, wajah siapa, dong, yang seperti monster?

Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS yang menjalar ke penanggulangan epidemi HIV. Lihat saja pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV di 70-an Perda Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tidak satu pun pasal di perda-perda itu yang menawarkan cara pencegahan yang konkret.

Bahkan beberapa Perda justru menyuburkan mitos. Misalnya, menyebutkan cara mencedah penularan HIV/AIDS adalah dengan meningkatkan iman dan taqwa. Apa alat ukurnya? Siapa yang berhak mengukurnya? Berapa ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah HIV/AIDS?

Ada lagi Perda yang menyebutkan pencegahan HIV/AIDS adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah. Nah, sekarang banyak istri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka setia dan hubungan seksual yang mereka lakukan sah dan resmi, lalu mengapa tertular HIV?

Apa, sih, peranan media massa, media online dan media sosial dalam penanggulangan HIV/AIDS?

Kita berkaca pada Thailand. Keberhasilan Negeri Gajah Putih itu menanggulangi HIV/AIDS adalah melalui peningkatan peran media massa sebagai media pembalajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS  di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000)

Untuk itulah kita berharap media massa, media online dan media sosial berlapang dada menyampaikan berita dan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS tanpa harus membalutnya dengan norma, moral, dan agama. Soalnya, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji dnegan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahannya pun bisa diketahui secara medis.

Atau media massa, media online dan media sosial tetap berpegang pada pemberitaan yang dibalut dengan norma, moral dan agama?

Kalau ini yang terjadi, maka kita pun akan bisa bernasip seperti Thailand yang pernah mencapai kasus HIV/AIDS mendekati angka 1.000.000 yang menghabiskan tiga perempat devisa pariwisatanya untuk menanggulangi HIV/AIDS. Artinya, kita tinggal menunggu ‘panen’ ledakan AIDS.

Ini yang perlu direnungkan para insan pers di Hari Pers Nasional (HPN), yang diperingati hari ini di NTB. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun