Dampak buruk lain dari berita-berita yang hanya berpijak pada mitos adalah stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakukan berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dan nama mereka bocor ke masyarakat. Mitos dan stigma menjadi dampak terburuk akibat berita media massa (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Monster
Ada pula media massa yang justru mencari-cari isu AIDS yang bisa dijadikan sebagai berita yang sensaional. Seperti ini: Boyke Dian Nugraha: Korban AIDS bisa Berubah Mirip Monster. Ada nasihat dari pakar seks, Prof. Dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, untuk siswa SMU tentang bahaya HIV Aids. Seseorang yang terkena Aids, dalam 5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak perduli apakah wania itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah menjadi monster. Hal itu dikemukakan, Boyke Dian Nugraha, saat bebicara dalam seminar yang dihadiri pelajar SMU di Surabaya (29/5). (Harian “Bali Post”, 30/5-2000).
Nah, kalau saja wartawan yang menulis berita ini mau meringankan langkah mencari orang yang sudah tertular HIV lebih dari lima tahun, apakah benar wajah mereka seperti monster. Lalu, wajah siapa, dong, yang seperti monster?
Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS yang menjalar ke penanggulangan epidemi HIV. Lihat saja pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV di 70-an Perda Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tidak satu pun pasal di perda-perda itu yang menawarkan cara pencegahan yang konkret.
Bahkan beberapa Perda justru menyuburkan mitos. Misalnya, menyebutkan cara mencedah penularan HIV/AIDS adalah dengan meningkatkan iman dan taqwa. Apa alat ukurnya? Siapa yang berhak mengukurnya? Berapa ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah HIV/AIDS?
Ada lagi Perda yang menyebutkan pencegahan HIV/AIDS adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah. Nah, sekarang banyak istri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka setia dan hubungan seksual yang mereka lakukan sah dan resmi, lalu mengapa tertular HIV?
Apa, sih, peranan media massa, media online dan media sosial dalam penanggulangan HIV/AIDS?
Kita berkaca pada Thailand. Keberhasilan Negeri Gajah Putih itu menanggulangi HIV/AIDS adalah melalui peningkatan peran media massa sebagai media pembalajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000)
Untuk itulah kita berharap media massa, media online dan media sosial berlapang dada menyampaikan berita dan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS tanpa harus membalutnya dengan norma, moral, dan agama. Soalnya, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji dnegan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahannya pun bisa diketahui secara medis.
Atau media massa, media online dan media sosial tetap berpegang pada pemberitaan yang dibalut dengan norma, moral dan agama?