Â
* Amdal hanya menganalisis lingkungan secara fisik dan mengabaikan dampak sosial ....
Â
Seperti jalan tol yang ‘membelah’ budaya dan kekerabatan masyarakat di sepanjang jalan tol, jalur rel kereta api (KA) Cepat yang menghubungkan Jakarta (Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur) - Karawang (Jawa Barat) - Malini (Bandung Barat, Jawa Barat) - Tegal Luar (Bandung, Jawa Barat) dipastikan juga akan ‘membelah’ kehidupan di sepanjang rel KA cepat tsb.
Jalur KA Cepat ini akan melewati perkampungan, persawahan, lahan pertanian dan perkebunan teh. Bayangkan kalau hanya untuk menimbang daun teh seorang pemetik teh atau seorang petani yang akan menjual hasil palawija ke warung di seberang rel harus memutar jauh sekian kilometer, maka kemungkinan besar mereka akan mencari jalan pintas yaitu menyeberang rel.
Tidak ada informasi tentang bentuk fisik jalur rel KA Cepat tsb., apakah akan dipagar dengan tembok atau kawat berduri. Atau rel layang di atas permukaan tanah. Tapi, fakta menunjukkan pagar dengan tembok dan kawat berduri di sepanjang rel KA dan jalan tol pun tetap dijebol penduduk sekitar. Itu mereka lakukan hanya untuk menyeberang ke desa seberang atau untuk naik-turun bus yang lewat jalan tol.
Biar pun sudah banyak korban tabrak lari di jalan tol dan di tempat-tempat yang biasa dipakai penduduk menyebarang dipasang papan peringatan dengan ancaman hukuman kurungan atau denda, penduduk tetap saja memilih menerabas peraturan dengan menyabung nyawa menyeberang jalan tol dan rel KA.
Jalur KA Cepat Jakarta-Bandung akan membelah kehidupan di sepanjang 142,3 km. Kawasan yang dilalau jalur ini merupakan areal pertanian yang subur yaitu sawah dan perkebunan teh PTPN VIII serta hutan jati Perum Pehutani.
Proyek KA Cepat ini tentu sudah menyiapkan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), tapi yang dikhawatirkan hanya terkait dengan teknis lingkungan fisik atau ekosistem, sehingga luput dari analisis dampak lingkungan terhadap aspek-aspek sosial kemasyarakatan terhadap kehidupan di sepanjang jalur rel.
Dengan kecepatan 200-350 km/jam sangatlah riskan bagi penyeberang rel karena bisa saja kepala kereta yang kelihatan di kejauhan tiba-tiba sudah ada di depan mata bersamaan dengan suara dan klakson kereta itu sendiri. Itu artinya tidak ada waktu untuk menghindar jika sudah ada di atas rel.
Dengan kecepatan itu jarak Jakarta-Bandung atau sebaliknya hanya membutuhkan waktu 35 45 menit. Ongkos diperkirakan pada kisaran Rp 200.000 – Rp 250.000 sekali jalan. Proyek KA Cepat ini dibangun dengan dana Rp 72 triliun yang diitargetkan rampung tahun 2018 sehingga sudah bisa dioperasikan pada tahu 2019. Peresmian atau groundbreaking dengan menandatangani prasasti sudah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo tanggal 21/1-2016 di di perkebunan teh Mandalawangi di Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Proyek KA cepat ini dikerjakan oleh konsorsium Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) dengan pemilikan saham 40 persen China Railway International Co. Ltd. (CRI), dan 60 persen dimiliki PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yaitu gabungan empat BUMN: WIKA dengan penyertaan saham 38 persen, PT Kereta Api Indonesia (KAI) 25 persen, PTPN VIII 25 persen, dan PT Jasa Marga Tbk (JSMR) 12 persen.
Kehadiran KA Cepat ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan kawasan-kawasan baru, terutama di sekitar stasiun, disebut transit oriented development (TOD), Â yang dilalui KA Cepat. Seperti wilayah Malini yang diharapkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru yang mendukung pembangunan di wilayah Bandung bagian Barat.
Tapi, di balik semua itu kita berharap rekayasa sosial (social engineering) terkait dengan pengembangan KA Cepat Jakarta-Bandung juga memperhatikan dampak buruk proyek terhadap aspek-aspek sosial kemasyarakatan.
Salah satu aspek yang menjadi pusat perhatian adalah keselamatan manusia di sepanjang jalur rel KA Cepat tsb. Jika tidak ada jembatan penyebarangan orang (JPO) atau terowongan dengan jarak yang wajar untuk berjalan kaki, maka penduduk di sepanjang rel akan memilih jalan pintas dengan menerabas pagar menyeberangi rel.
Mendidik masyarakat di sepanjang jalur KA Cepat melalui sosialisasi dengan membuat UU yang memberikan sanksi pidana dan denda kepada penyebarang tidak akan berhasil karena penduduk akan tetap mencari jalan pintas. Itu artinya jalur rel itu menjadi area atau ladang pembantaian dengan kematian yang sia-sia yang merupakan bencana atau malapetaka terselubung yang berdampak terhadap masyarakat (silent disaster).
Maka, apakah keselamatan penduduk di sepanjang jalur rel mendorong KCIC menyediakan JPO atau terowongan sebagai bagian dari proyek KA Cepat ini? Atau membiarkan penduduk menyeberangi rel dengan korban jiwa?
Kita tunggu saja! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H