Saya tahu itu tulisan opini Anda, tapi kan ditulis oleh pribadi.” Inilah alasan seorang ‘pengeritik’ ketika penulis mengatakan bahwa yang dia tulis itu bukan tanggapan terhadap konten tulisan, tapi menyerang pribadi penulis.
Itu salah satu pandangan yang keliru, tapi jamak terjadi. Di beberapa tulisan penulis di Kompasiana, misalnya, ‘dikritik’ dengan mengatakan: Saudara antek-antek WHO (tulisan tentang HIV/AIDS), Anda antek Israel (tulisan tentang film), Anda agen kondom (tulisan tentang HIV/AIDS), dst.
Bahkan, di Facebook ada yang menanggapi status penulis dengan menyerang orang tua: “Bapakmu dulu tidak mengazankan kau rupanya.” (Kalau yang lahir anak laki-laki selalu didengarkan azan ke telinga bayi). Astaga, inikah orang-orang yang disebut kritis? Status tsb. terkait dengan agama, tapi masalah sosial yang sama sekali tidak terkait dengan akidah dan syariah. Hanya menyoal istilah.
‘Orang-orang Kritis’
Damar (juga pendiri Forum Demokrasi Digital, Damar Juniarto) khawatir orang-orang yang kritis bisa dijerat pasal itu untuk memberikan efek penggentaran kepada netizen lain yang kritis karena sikap kritis dianggap sama dengan penghinaan terhadap seseorang. (DEMOKRASI DIGITAL. Potensi Kriminalisasi Makin Besar, Harian “KOMPAS”, 6/1-2016).
Nah, pertanyaan untuk Damar: Apakah tanggapan yang tidak relevan dengan status, tulisan, kegiatan, dll. yaitu dengan menyerang pribadi termasuk ‘orang-orang yang kritis’ dan kebebasan berekspresi?
Dalam berita KOMPAS tadi sama sekali tidak ada contoh tulisan yang disebut Damar sebagai ‘orang-orang kritis’ yang dikriminalisasi.
Wartawan yang bekerja untuk media massa tetap saja bisa kritis dengan pedoman UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Nah, kalau saja nitizen mengacu ke Kode Etik Jurnalistik PWI, terutama terkait dengan pasal-pasal di bawah ini maka tidak akan pernah terjerat hukum (frasa wartawan bisa digani dengan netizen), yaitu:
Pasal 2. Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
Pasal 3. Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional.
Pasal 5. Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.
Pasal 6. Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.
Pasal 7. Wartawan Indonesia dalam memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.
Maka, jika ada tulisan, gamar, dll, yang tidak memenuhi melawan pasal-pasal di atas jelas bukan ‘kritik’, tapi caci-maki, umpatan, dll. yang justru menyerang pribadi.
Lalu ada pula yang mengatakan UU ITE akan membelenggu kebebasan berekspresi. Dalam KBBI ekspresi disebut sebagai pengungkapan atau proses menyatakan (yaitu memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dsb)
Apakah status yang ditulis oleh Florence Sihombing, mahasiswa S2 UGM Yogyakarta, yang mencaci-maki warga Yogyakarta dan Sultan merupakan kebebasan berekspresi, daya kritis atau kebebasan berbicara?
Data dan Fakta
Perempuan itu bermasalah dengan karyawan SPBU, lho, koq yang dia caci-maki warga dan Sultan Yogyakarta? Florence: Jogja Miskin, Tolol, dan Tak Berbudaya. Bahkan, di status lain dia mengatakan warga Yogya sebagai, maaf, bangsat. Saya pernah menjadi warga Yogyakarta dengan memilik KTP sehingga saya pun keberatan terhadap ‘kritik’ perempuan ini.
Dalam berita di KOMPAS tadi disebutkan: “Damar khawatir orang-orang yang kritis bisa dijerat pasal itu untuk memberikan efek penggentaran kepada netizen lain yang kritis karena sikap kritis dianggap sama dengan penghinaan terhadap seseorang.”
Mengkritisi berbeda dengan penghinaan. Jika seorang pejabat publik, pemuka agama, tokoh masyarakat, pakar, dll. dikritik bukan penghinaan selama yang dikritik kebijakan atau pendapat mereka. Tentu saja beda halnya kalau kritik yang dilancarkan hanya menyasar pribadi yang dikritik.
Selama berpegang teguh pada koridor hukum terkait dengan berbicara, tulisan (berita, reportase, esai, opini, puisi, cerpen, dll.), gambar, karikatur, dll. tidak akan pernah bisa dijerat hukum. Dengan catatan objek yang disampakan data atau fakta.
Karikatur GM Sudarta di Harian “KOMPAS” sangat tajam, tapi isi karikatur tsb. fakta dan tidak menyerang pribadi. Tentu saja berbeda dengan kondisi di rezim Orde Baru. Surat Kabar “SINAR HARAPAN” pernah diboikot Garuda Indonesia dengan cara tidak mau membawa koran tsb. hanya karena koran itu memuat karikatur tentang Garuda yang, maaf, loyo.
Nah, kalau kemudian kebebasan berekspresi dan daya kritis diartikan sebagai ‘bebas bicara’ tentulah akan berbenturan dengan hukum karena ‘bebas bicara’ berbeda dengan ‘kebebasan berbicara’. Pada tataran yang sama ‘pers bebas’ berbeda dengan ‘kebebasan pers’. Kebebasan pers di mana pun tetap pada koridor hukum. Dalam film “All the President's Men” (film tentang kisah dua wartawan Harian “The Washington Post” yang menyelidiki skandal ‘Watergate’, 1976), misalnya, wartawan yang wawancara pun bertanya kepada yang diwawancarai: Apakah wawancara ini boleh saya tulis? Padahal, itu di Amerika Serikat.
Maka, amatah kita dukung pernyataan ini: "Pengguna internet juga harus pandai-pandai swasensor terhadap informasi yang disebarkan di internet agar bisa dicerna dengan baik. Sumber informasi dari internet harus divalidasi tidak hanya dari satu sumber," tutur Maritta Rastuti, Volunteer Activation Manager Indorelawan.org (Harian KOMPAS, 6/1-2016).
Selama berjalan di koridor hukum sesuai dengan aturan dan kode etik kritik sepedas apa pun akan lolos dari jerat hukum. Persoalannya, maaf, bisa jadi karena kemampuan untuk melancarkan kritik yang tidak didukung oleh kapasitas diri. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H