Karikatur GM Sudarta di Harian “KOMPAS” sangat tajam, tapi isi karikatur tsb. fakta dan tidak menyerang pribadi. Tentu saja berbeda dengan kondisi di rezim Orde Baru. Surat Kabar “SINAR HARAPAN” pernah diboikot Garuda Indonesia dengan cara tidak mau membawa koran tsb. hanya karena koran itu memuat karikatur tentang Garuda yang, maaf, loyo.
Nah, kalau kemudian kebebasan berekspresi dan daya kritis diartikan sebagai ‘bebas bicara’ tentulah akan berbenturan dengan hukum karena ‘bebas bicara’ berbeda dengan ‘kebebasan berbicara’. Pada tataran yang sama ‘pers bebas’ berbeda dengan ‘kebebasan pers’. Kebebasan pers di mana pun tetap pada koridor hukum. Dalam film “All the President's Men” (film tentang kisah dua wartawan Harian “The Washington Post” yang menyelidiki skandal ‘Watergate’, 1976), misalnya, wartawan yang wawancara pun bertanya kepada yang diwawancarai: Apakah wawancara ini boleh saya tulis? Padahal, itu di Amerika Serikat.
Maka, amatah kita dukung pernyataan ini: "Pengguna internet juga harus pandai-pandai swasensor terhadap informasi yang disebarkan di internet agar bisa dicerna dengan baik. Sumber informasi dari internet harus divalidasi tidak hanya dari satu sumber," tutur Maritta Rastuti, Volunteer Activation Manager Indorelawan.org (Harian KOMPAS, 6/1-2016).
Selama berjalan di koridor hukum sesuai dengan aturan dan kode etik kritik sepedas apa pun akan lolos dari jerat hukum. Persoalannya, maaf, bisa jadi karena kemampuan untuk melancarkan kritik yang tidak didukung oleh kapasitas diri. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H