Hari libur seperti hari ini (25/12-2015) tentulah hari yang menyenangkan, tapi berbeda dengan yang saya alami tahun lalu yang juga mendekati libur Natal.
Waktu itu dada kiri saya berdebar-debar, tapi setelah seharian diamati oleh dokter hasil diagnosis dokter di IGD RSUP Persahabatan, Jakarta Timur, menunjukkan tidak ada persoalan. “Saya tidak bisa berikan obat, Pak, karena tidak ada masalah.” Itulah penjelasan dokter jaga waktu itu (Baca juga: Pelayanan IGD RSUP Persahabatan Jakarta di Hari Libur).
Dokter menganjurkan kontrol ke Poli Jantung, RSUP Persahabatan. Di poli ini juga tidak ada masalah hanya mengganti obat darah tinggi, “Agar lebih nyaman, Pak,” kata dokter di Poli Jantung.
Rupanya, obat yang diberikan dokter praktek swasta dekat rumah sudah ‘ketinggalan zaman’ karena sudah ada produk baru.
Soal dada berdebar-debar sama sekali tidak saya hubung-hubungkan dengan santet yang selama ini mendera saya. Tapi, karena dua dokter mengatakan hal yang sama saya mulai curiga debaran di dada kiri bukan masalah medis.
Langkah pertama saya ke Bu Haji di Pandeglang, Banten.
“Aduh, Pak, untung cepat datang,” kata Bu Haji setelah membalas salam saya.
Ada apa?
“Ada jarum dari belakang yang menusuk-nusuk ke depan,” kata Bu Haji sambil berdecak.
Soalnya, selama ini serangan memang selalu mengarah ke jatung. Artinya, sasaran tembak bagian kiri badan. Ini juga erat kaitannya dengan kebiasaan saya menggunakan tangan kanan sehingga mulai dari kaki sampai kepala selalu bagian kiri yang diserang.
Minta bantuan ke Bu Haji ini memang agak khas karena modalnya hanya pisang ambon. Dengan pisang itulah Bu Haji menarik benda-benda kiriman yang ada dalam badan. Beling, jarum, paku, lidi ijuk, uang logam, gabah, lada, binatang hidup, dll.
Sambil membaca beberapa ayat suci Bu Haji meletakkan pisang ambon di punggung kiri.
Krakkkkk.... Daging seakan disayat. Nyeri. Perih.
Potongan karet gelang menempel di pisang ambon. Rupanya, karet itulah yang bergetar di dalam badan sehingga terasa seperti berdebar-debar.
Namun, beberapa hari setelah dari Bu Haji dada kiri sesekali masih saja bergetar dan terasa nyeri.
Kepalang berobat minggu berikutnya saya ke Pak Ajie (Misbach) di Cilegon, Banten. Pak Ajie juga sering membantu saya menarik benda di badan, di rumah dan di kantor, bahkan di jalan raya yang sering saya lewati.
Ke Pak Ajie tidak perlu bawa pisang ambon karena berbeda cara. Pak Ajie pakai daun, al. daun sirih, belembing sayur, dll. untuk menarik benda dari badan.
Pak Ajie menempelkan keris kecil ke punggung saya. Takkkkk.... Keris seperti berbeturan dengan logam. Duh, ada apa lagi ini.
“Ini kawat, Pak,” kata Pak Ajie sambil menunjukkan kawat sebesar anak korek api dengan panjang kira-kira 3 cm yang dibengkokkan.
Rupanya, karet gelang yang ditarik Bu Haji itu dililitkan oleh dukun santet ke kawat yang dibengkokkan. Gelang karet bergetar dan mendorong kawat menusuk-nusuk jantung. Tapi, benda itu belum menembus rusuk sehingga debaran terasa nyeri karena menusuk tulang rusuk.
Saya dan anak perempuan saya jadi sasaran santet karena sudah ‘dijual’ jadi tumbal (wadal) untuk pesugihan sala seorang kerabat. Orang yang memelihara pesugihan itu memakai ‘buto ijo’ sebagai senjata mencari kekayaan dengan syarat menyerangkan 17 tumbal.
Sudah 9 nyawa yang melayang dengan berbagai cara, ada yang sakit ada pula karena kecelakaan lalu lintas. Mulai dari adik, ipar, anak, menantu dan sopir sudah jadi tumbal. Nah, saya dan putri saya nomor 11 dan 10.
Dengan izin Ilahi dan bantuan Bu Haji dan Pak Ajie saya dan putri saya selamat karena yang jadi ‘tumbal’ justru yang memelihara pesugihan itu dan saudaranya.
Ternyata nyawa tidak berarti jika sudah dibenturkan dengan materi sebagai bentuk kekayaan.
Semoga orang-orang yang mencari kekayaan dengan memelihara pesugihan memahami penderitaan orang-orang yang mereka jadikan sebagai tumbal.
Yang menyakitkan adalah saya tidak mempunyai urusan, seperti utang, dengan yang menyatet saya. Saya pun tidak pernah terlibat perselisihan dengan mereka.
Begitulah yang akan dijadikan tumbal rupanya ada syarat-syarat tertentu. Celakanya, beberapa syarat itu ada pada saya dan putri saya.
Hal itu tidak membuat saya melepas syarat-syarat itu agar tidak jadi tumbal (lagi) karena erat kaitannya dengan ajaran agama. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI