“Penyakit ini tak mengenal bangsa dan jenis kelamin. Semunya berisiko. Dia dirujuk dari daerah,” kata seorang perawat. Ini pernyataan yang dimuat di dalam berita “Lipus. Duh, Para Istri Tertular HIV” (Harian “Serambi Indonesia”, Banda Aceh, 17/12-2015).
Penyakit yang dimaksud perawat tadi adalah HIV/AIDS. Perawat ini rupanya memakai moralitas dirinya dalam menjelaskan epidemi HIV/AIDS sebagai fakta medis. Tidak semua orang berisiko tertular HIV/AIDS karena penularan HIV hanya melalui cara-cara yang sangat spesifik, al. melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS, melalui darah yang terkontaminasi HIV/AIDS melalui jarum suntik dan transfusi darah, dan air susu ibu (ASI) yang mengandung HIV.
Nah, orang-orang yang berisiko tertular HIV/AIDS adalah: (a) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, kawin kontrak, dll., (b) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, (c) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (d) memakai jarum suntik secara bergiliran dan bergantian, dan (e) menyusu kepada perempuan pengidap HIV/AIDS.
Fasilitas Tes HIV
Pernyataan perawat itulah yang menjadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS. Masyarakat akhirnya tidak menangkap fakta, tapi menerima mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Disebutkan bahwa sampai November 2015 kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh mencapai 388 dengan 117 kematian. Tingkat kematian yang mencapai 30,2 persen termasuk tinggi sehingga perlu langkah-langkah yang konkret agar kematian Odha (Orang dengan HIV/AIDS) bisa ditekan.
Benarkah pengetahuan masyarakat akan bahaya AIDS masih minim? Lalu apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah Aceh?
Disebutkan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Aceh, dr Ormaia Nja’ Oemar, MKes, Aceh masih termasuk golongan C karena Aceh berada pada peringkat dengan kasus yang terbilang sedikit penderita HIV/AIDS dibanding sejumlah kota besar seperti Jakarta dan Papua.
Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi karena banyak orang dari daerah yang menjalani tes HIV di Jakarta. Selain itu banyak pula pengidap HIV/AIDS yang ‘pindah’ ke Jakarta karena di daerah tidak ada sanggar dan pendampingan terhadap Odha.
Sedangkan di Papua banyak kasus terdeteksi karena karena banyak LSM yang melakukan penjangkauan sempai ke pelosok sehingga banyak kasus yang terdeteksi.
Dalam epidemi HIV/AIDS tidak ada penggolongan daerah berdasarkan jumlah kasus karena ada beberapa hal yang tersembunyi di balik angka yang kecil yang ada di Aceh, yaitu:
Pertama, apakah di semua kota dan kabupaten di Provinsi Aceh ada fasilitas tes HIV? Jika tidak ada maka ada kemungkinan orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS di kota dan kabupaten di Aceh tidak terdeteksi.
Kedua, apakah ada LSM yang melakukan penjangkauan terhadap kalangan berisiko di kota dan kabupaten di seluruh Aceh? Kalau tidak ada maka jumlah temuan kasus sangat rendah karena sifatnya pasif yaitu rumah sakit hanya menunggu orang sakit berobat dengan gejala-gejala AIDS.
Ketiga, apakah persediaan obat antiretroviral (ARV) ada sampai ke puskesmas? Kalau tidak ada, maka Odha akan memilih berobat ke Medan atau Jakarta.
Keempat, dalam epidemi HIV/AIDS dikenal fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi (388) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Disebutkan dalam berita: “Penyebaran HIV-AIDS sungguh mencemaskan, seorang ODHA berpotensi menularkannya kepada 20 orang lain. Bahkan di kota besar, sesorang berpotensi menulari seratus orang lainnya.”
Pernyataan di atas sama sekali tidak benar karena HIV tidak bisa ditularkan melalui udara, air dan pergaulan sosial. Kalau ‘rumus’ itu benar, maka kasus di Aceh sudah mencapai 38.800. Kalau ini yang terjadi tentulah ruma sakit sudah penuh.
Ketika kasus HIV/AIDS pertama ditemukan di Bireuen tahun 2004, itu artinya pengidap HIV/AIDS tsb. tertular antara tahun 1989 dan tahun 1999 karena secara statistik masa AIDS terjadi pada orang yang tertular HIV antara 5-15 tahun sejak tertular HIV (Lihat Gambar 1).
Disebutkan pula oleh dr Ormaia, kasus di Aceh dialami ODHA dari berbagai kalangan dan profesi, tak terkecuali ibu rumah tangga yang justru tak pernah berbuat serong dan tak pernah tahu tentang narkoba.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, serong, menyeleweng, melacur, selingkuh, seks oral, seks anal, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu mengidap dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom).
Disebutkan lagi: “ .... Kemungkinan sang suami punya mobilitas tinggi ke luar daerah. Trennya memang kebanyakan ODHA di Aceh berkaitan dengan orang atau pasangan yang pernah tinggal di luar atau tingkat mobilitasnya tinggi.”
Terkait dengan pernyataan di atas, perlu diperhatikan fakta di bawah ini:
- Apakah di wilayah Provinsi Aceh tidak ada praktek pelacuran?
- Apakah di wilayah Provinsi Aceh tidak ada penduduk yang melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah?
Jawaban dari dua pertanyaan di atas akan memberikan gambaran apakah HIV/AIDS hanya terkait dengan orang-orang yang pernah atau sering ke luar Aceh.
Di lead berita disebutkan “Benarkah pengetahuan masyarakat akan bahaya AIDS masih minim? Lalu apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah Aceh?”
Celakanya, dalam berita sama sekali tidak ada langkah-langkah yang harus dilakukan Pemerintah Aceh dalam menanggulangi HIV/AIDS.
Begitu juga dengan judul berita yang disebut ‘lipsus’ (liputan khusus) tapi sama sekali tidak memberikan informasi yang komprehensif sehingga tidak ada penjelasan tentang: (1) Mengapa banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS?, (2) Bagaimana ibu-ibu rumah tangga itu tertular HIV/AIDS, dan (3) Bagaimana cara mengatasi agar tidak ada lagi ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV?
Yang perlu dilakukan Pemerintah Aceh adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual melalui intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Seperti di Gambar 2 bisa dilihat bahwa intervensi tidak bisa dilakukan terhadap laki-laki dewasa, bisa saja sebagai suami, yang melakukan hubungan seksual dengan waria, PSK langsung yang tidak dilokalisir, PSK tidak langsung, dan cewek gratifikasi seks.
Intervensi hanya bisa dilakukan terhadap PSK langsung jika dilokalisir. Tapi, hal ini mustahil dilakukan di Aceh. Maka, insiden penularan HIV kepada ibu rumah tangga akan terus terjadi keculai Pemerintah Aceh bisa menjami tidak ada laki-laki dewasa pendudu Aceh yang melakukan hubungan seksual dengan waria, PSK langsung, PSK tidak langsung dan cewek gratifikasi seks di wilayah Aceh atau di luar wilayah Aceh.
Maka, satu-satunya yang bisa dilakukan Pemerintah Aceh hanya menyelamatkan bayi-bayi yang akan lahir agar tidak tertular HIV/AIDS dari ibunya, yaitu melalui peraturan atau qanun:
- Mewajibkan suami dan istri menjalani konseling tes HIV ketika si istri hamil.
- Jika hasil konseling menunjukkan perilaku suami berisiko tertular HIV, maka suami wajib tes HIV.
- Jika hasil tes suami positif, maka istri wajib tes HIV.
Jika ibu rumah tangga yang hamil terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka dijalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Dengan langkah ini risiko bayi tertular HIV bisa ditekan sampai nol persen.
Atau bisa juga mencontoh Singapura. Laki-laki beristri yang bekerja di wilayah Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau lebih dari beberapa hari wajib tes HIV ketika tiba kembali di Singapura.
Karena di Aceh disebutkan HIV/AIDS dibawa oleh penduduk Aceh yang pernah ke luar daerah, maka laki-laki dewasa yang sering bepergian ke Medan, Jakarta, Batam, dll. wajib menjalani tes HIV.
Tanpa program di hulu, maka Pemerintah Aceh tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H