Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bekerja di Kawasan Industri di Indonesia Rentan Tertular HIV/AIDS, Kok Bisa Sih?

16 September 2015   13:02 Diperbarui: 16 September 2015   13:19 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernyataan Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, ini benar-benar menjungkirbalikkan akal sehat. Coba simak ini: "Para pekerja yang bekerja di kawasan-kawasan industri rentan terhadap penularan HIV dan AIDS." (Pekerja di Kawasan Industri Rentan Tertular HIV/AIDS, republika.co.id, 15/9-2015).

Kalau dikaitkan dengan faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS, yaitu: (a) hubungan seksual tanpa kondom dengan pengidap HIV/AIDS, (b) menerima transfusi darah yang mengandung HIV, (c) memakai jarum suntik yang berisi darah yang mengadung HIV, dan (c) menyusui ke perempuan yang mengidap HIV/AIDS, maka minimal salah satu dari faktor-faktor risiko ini terjadi di kawasan-kawasan industri di Indonesia.

Sedangkan risiko tinggi tertular HIV bisa terjadi jika: (1) melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondon dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering berganti-ganti pasangan (seperti pekerja seks komersial/PSK langsung dan PSK tidak langsung), (3) memakai jarum suntik secara bergantian, dan (4) menerima transfusi darah yang tidak diskirining HIV.

Jika pekerja yang disebut Pak Menteri tertular HIV ketika bekerja di kawasan-kawasan industri di Indonesia, maka lagi-lagi minimal ada salah satu dari empat kondisi di atas di kawasan industri tsb.

Ketika informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah menyebar luas, sayang Pak Menteri rupanya lebih memilih pendapatnya daripada fakta.

Soalnya, apa iya pekerja-pekerja tsb. tertular pada jam kerja di kawasan-kawasan industri tempat mereka bekerja?

Tentu saja tidak. Maka, apa, dong, yang menyebabkan pekerja rentan tertular HIV/AIDS?

Yang perlu diingat adalah bahwa pekerja-pekerja yang tertular HIV/AIDS tidak tertular pada jam kerja di kawasan industri tempat mereka bekerja.

Lalu, di mana, kapan dan mengapa mereka (pekerja atau buruh) tsb. tertular HIV?

Nah, jawaban dari pertanyaan di ataslah yang menjadi kunci persoalan sehingga tidak muncul pernyataan yang ngawur.

Pekerja atau buruh yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tertular, al. melakukan perilaku berisiko dalam hal seks, yaitu:

  • melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS
  • melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSK yang kasat mata yaitu PSK di tempat-tempat, lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat plus, ABG, anak sekolah, ayam kampus, cewek SPF, artis prostitusi online, cewek panggilan, dll.) karena ada kemungkinan salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS

Kegiatan di atas tentu saja tidak ada di kawasan industri, tapi ada di sekitar kawasan industri.

Kemudian, mengapa pekerja atau buruh rentan tertular HIV/AIDS?

Tentu saja banyak faktor yang semuanya tergantung pada sikap dan moralitas buruh. Kalau misalnya disebut karena jauh dari keluarga, dalam hal ini istri, bisa saja subjektif karena ternyata tidak semua pekerja atau buruh yang tidak membawa istri otomatif melakukan perilaku berisiko.

Kalau tetap mereka memilih melakakuman hubungan seksual dengan PSK langsung ata PSK tidak langsung, maka lakukanlah dengan aman yaitu selalu memakai kondom dari awal sampai akhir pada saat terjadi hubungan seksual.

Faktor yang paling dominan adalah para pekerja atau buruh itu berada pada usia seksual aktif sehingga mereka membutuhkan penyaluran dorongan hasrat seksual. Hal ini hanya efektif jika dilakukan dengan hubungan seksual karena substitusi apa pun tidak akan menyelesaikan masalah karena dorongan seksual hanya bisa disalurkan melalui hubungan seksual.

Disebutkan pula oleh Dhakiri bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja dapat dilaksanakan dengan cara menyebarluaskan informasi dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan tentang HIV/AIDS serta mengembangkan kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di lingkungan kerjanya masing.

Mencegah agar para pekerja atau buruh tidak tertular HIV tidak dilakukan di tempat mereka bekerja di kawasan industri, karena mereka melalukan perilaku berisiko di luar tempat mereka bekerja.

Yang menjadi persoalan besar adalah informasi tentang pencegahan HIV/AIDS selalu dibumbui dengan norma dan moral sehingga fakta empiris tentang cara mencegah penularan HIV pun kabur dan berujung pada mitos (anggapan yang salah).

Untuk itulah sudah saatnya materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS tidak dibalut dengan norma dan moral, tapi sampaikanlah secara faktual: cara mencegah agar tidak tertular melalui hubungan seksual berisiko, di dalam dan di luar nikah, adalah dengan memakai kondom. Celakanya, hal ini tidak pernah disampaikan secara baik karena selalu dibumbui dengan moral. Maka, kasus HIV/AIDS pada pekerja atau buruh akan terus terjadi. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***

Ilustrasi (Repro: shutterstock.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun