“Jumlah Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan Wanita Tuna Susila (WTS) semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, Kementerian Sosial pun memperhatikan mereka dengan meluncurkan program terbaru.” Ini lead pada advertorial Kemensos “Kementerian Sosial Berdayakan TKW dan WTS” (tribunnews.com, 15/7-2015).
Jika disimak pernyataan di atas, terkait dengan WTS (terminologi ini tidak objektif karena bias gender dan hanya menyalahkan perempuan dengan mengabaikan moralitas laki-laki ‘hidung belang’ sebagai pembeli seks, dianjurkan memakai terminologi pekerja seks atau pekerja seks komersial/PSK), yang menjadi persoalan besar adalah permintaan yang tinggi dari laki-laki terhadap perempuan untuk dijadikan pasangan kecan menyalurkan dorongan hasrat seksual.
Kalau persoalannya ada pada laki-laki, disebut laki-laki ‘hidung belang’, mengapa yang jadi sasaan tembak perempuan (dalam hal ini PSK)?
Praktek pelacuran, baik terbuka (PSK langsung yaitu kasat mata, seperti di lokalisasi pelacuran dan jalanan) maupun tertutup (PSK tidak langsung yaitu tidak kasat mata, seperti cewek bispak, cewek biyar, anak sekolah, ABG, ayam kampus, cewek pemijat, cewek pub, cewek kafe, cewek gratifikasi seks, dll.) ada karena permintaan pasar (baca: laki-laki ‘hidung belang’).
Salah satu bukti bahwa laki-laki ‘hidung belang’ kian banyak dalam beberapa tahun terakhir ini adalah jumlah isteri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS juga terus bertambah. Mereka terdeteksi ketika memeriksa kehamilan atau ketika hendak melahirkan. Tahun 2010 diperkirakan ada 40.000 ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya (VOA Indonesia, 27/11-2010). Di Kota Batang, Jateng, misalnya, disebutkan oleh Mensos Khofifah Indar Parawansa ada 564 ibu ruma tangga yang memakai jilbab terdeteksi mengidap HIV/AIDS (Harian TERBIT, 9/6-2015).
Jika ditilik dari epidemi HIV/AIDS biar pun Kemensos ‘memerdekakan’ PSK (perlu diingat bahwa hanya PSK langsung sedangkan PSK tidak langsung tidak bisa dijangkau oleh Kemensos) penyebaran HIV/AIDS tidak akan berhenti karena: (1) Laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, dan (2) Ratusan bahkan ribuan bisa juga puluhan ribu laki-laki ‘hidung belang’ yang tertular HIV dari PSK juga mata rantai penyebaran HIV di masyarakat al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Persoalan lain adalah dengan menarik PSK langsung mengikuti program pemberdayaan Kemensos tidak ototmatis menghentikan pasokan PSK karena permintaan pasar yang besar dan terus bertambah seiring dengan peningkatan pendapatan dan praktek-praktek korupsi.
Lagi pula apakah dengan program UEP (Usaha Ekonomi Produktif) dan KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang menyediakan dana Rp 3 juta dan Rp 20 juta menarik untuk PSK? Tentu saja tidak menarik karena melalui praktek pelacuran mereka lebih mudah mendapatkan uang dan tidak perlu kerja keras. Selain itu menjadi PSK adalah pilihan bagi sebagian dari mereka bukan karena kemiskinan semata.
Maka, Kemensos perlu membalik paradigma berpikir karena kunci penanggulangan pelacuran bukan pada PSK tapi ada pada laki-laki ‘hidung belang’. Tentu tidak mudah mengajak laki-laki ‘hidung belang’ agar tidak melacur (lagi). Apalagi dengan PSK tidak langsung adalah hal yang mustahil mencegah praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak lansung ini.
Paling tidak Kemensos diharapkan melakukan intervensi kepada perempuan yang berisiko memilih pelacuran sebagai pekerjaan. Cara-cara yang dilakukan oleh perekrut (calo) PSK bisa menjadi pintu masuk bagi Kemensos untuk memulai intervensi. Itu artinya program UEP dan KUBE bukan diberikan kepada PSK yang sudah menjalani pekerjaan tsb., tapi kepada perempuan-perempuan yang menjadi sasaran tembak calo-calo yang mencari calon PSK di desa-desa.
Kalau program UEP dan KUBE hanya diberikan kepada PSK yang praktek, maka pasokan PSK baru akan terus terjadi seiring dengan permintaan pasar. Selain itu PSK yang menjadi peserta UEP dan KUBE juga ada yang gagal dan kembali ke habitatnya di dunia pelacuran.
Progam resosialisasi dan rehabilitasi (resos) PSK yang dijalakan Departemen Sosial di era Orba jelas ‘gatot’ (gagal total) karena banyak faktor, al. program tsb. adalah top-down [Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)]. Program ini juga melatih PSK dan memberikan modal usaha, tapi tetap saja tidak berhasil.
Apakah program UEP dan KUBE akan senasib dengan dengan program resos versi Orba? Kita tunggu saja. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H