Saya ingat betul perkenalan saya pertama kali dengan Babe, panggilan akrab Chris W. Green, aktivis HIV/AIDS sejak awal 1990-an di Jakarta, adalah di bulan puasa (1998). Waktu itu Bu Lia, Dr Rosalia Sciortino di Kantor Ford Foundation Jakarta, mengadakan diskusi tentang kondom. Malam ini, 21/6-2015, pkl 21.00 saya baca status Danel Marguari, Yayasan Spiritia Jakarta, yang mengatakan bahwa Babe akan disemayamkan di RS St Carolus, Jakarta Pusat, sampai tanggal 23/6-2015 selanjutnya akan dikremasi. Babe pergi untuk selama-lamanya sekitar pukul 15.30, 21/6-2015, di RS Siloam, Tangerang, Banten.
Ketika itu Babe menunjukkan newsletter “WartaAIDS” yang berisi informasi tentang HIV/AIDS. Sebagai wartawan yang bergelut di isu HIV/AIDS, ketika itu bekerja di Tabloid ‘MUTIARA’ Jakarta, saya tertarik membantu Babe. Usul saya kemudian yaitu menuliskan berita dan ulasan terkait AIDS dengan kasus Indonesia diterima Babe.
Saya pun bekerja di rumahnya di bilangan Pondok Gede, ini sudah masuk Bekasi, tapi di pinggiran Jakarta Timur. Di sana kami mengelola beberapa newsletter yang menyebarluaskan informasi HIV/AIDS dan Narkoba. Ada “WartaAIDS” dan “HindarAIDS” yang didanai oleh Ford Foundation dengan dukungan Bu Lia.
“Saya heran, Bang, koq Abang tidak kaget.” Itulah kira-kira tanggapan Babe terhadap reaksi saya ketika dia menceritakan orientasi seksnya. Waktu itu saya hanya tertawa kecil mendengar cerita Babe tentang “siapa” dia. Babe mengatakan bahwa dia tidak mau saya mengetahui informasi tentang dia dari orang lain. Hal yang sama juga dia lakukan dengan yang lain.
Bagi saya orientasi seks dan semua hal yang terkait dengan patologi sosial adalah hal biasa karena alm Damang (ayah) dulu di akhir tahun 1960-an sampai tahun 1970-an memberikan pekerjaan kepada seorang waria dan menyediakan rumah kepada seorang pekerja seks. Ayah saya memang jadi sasaran fitnah dan caci maki. Hal yang saya alami setiap hari. Banyak cerita yang saya dengar, waktu itu saya di SD dan ketika di SMP cerita-cerita itu tidak mengganggu saya lagi.
Toleransi saya dengan Babe berlanjut. Babe menyediakan sajadah di salah satu kamar di rumahnya. “Silakan, Abang salat,” kata Babe sambil menunjukkan kamar dan sajadah yang dia sediakan. Saya sendiri sebenarnya lebih memilih salat di musola di perumahan itu, tapi karena Babe sudah menyediakan sarana maka saya pun memakainya.
Juga di bulan puasa, “Abang bikin ulasan tentang cara berpuasa bagi Odha,” pinta Babe. Saya pun mencari bahan-bahan di buku-buku fiqih dan wawancara dengan ahli. Ulasan kami dimuat di “WartaAIDS”.
Setiap hari kami diskusi soal berita yang akan dimuat di newsletter karena sumber berita itu dari luar negeri. Artinya, kami mencari informasi yang ‘nyambung’ dengan kasus di Indonesia.
Karena Babe tahu persis kalau hari Senin dan Kamis saya sering puasa, maka jika tiba waktu sarapan dan makan siang Babe selalu minta maaaf, “Bang, maaf, ya kam sarapan dulu.” Bagi saya hal itu sangat berharga karena Babe menghargai yang saya lakukan dan sama sekali kami tidak pernah terlibat pembicaraan tentang SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Saya sendiri sejak kecil sudah diperkenalkan alm. Damang dengan beragama kehidupan, al. teman di kantornya, pemilik kantin yang selalu menyediakan bumbu pecal, dan hampir tiap malam saya dibawa menonton di bioskop. Tapi, kalau ada adegan ciuman dia pun menyuruh saya menunduk. Tapi, setelah SMP saya nonton sendiri karena salah satu karyawan di bioskop itu Uda (Oom) saya sehingga bisa masuk biar pun belum berumur 17 tahun. Waktu itu umur sangat ketat karena harus menunjukkan KTP kalau mau nonton dengan batas usia 17 tahun ke atas.
Permintaan untuk berlanggaan dan tanggapan yang kami terima menunjukkan betapa informasi HIV/AIDS belum menjangkau banyak orang. Untunglah Ford Foundation juga mendanai ongkos kirim sehingga newsletter itu kami kirim kepada siapa saja yang minta berlangganan.
“Oon duduk di atas,” kata tukang becak di mulut jalan perumahan tempat Babe. Waktu itu banjir besar melanda Jabodetabek. Air sebatas pinggang orang dewasa. Saya sampai ke rumah Babe. Astaga, rumah Babe bagaikan kapal pecah karena jadi tempat menampung penduduk yang kebanjiran. Yang saya lihat hanya rumah Babe ada ‘pengungsi’.
Kami sering ‘berdebat’ soal terjemahan karena Babe orang Inggris asli sehingga makna kata lebih pas dia terjemahkan. Pada akhirnya hasil terjemahan yang kami hasilkan benar-benar berbatu Indonesia dan kata-katanya pun baku. Misalnya, tema Hari AIDS Sedunia (HAS) tahun 1999: Listen, Learn, Live. Banyak versi tapi tidak baku. Kami sepakat terjemahannya adalah: Dengar, Simak, Tegar. Ini kami cari padanan kata di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Simak dan tegar itu bermakna luas berbeda dengan terjemahan harfiah, misalnya, belajar dan hidup.
Ketika Bu Lia diganti oleh Dr Meiwita Budhiharsana konsentrasi saya beralih ke kesehatan reproduksi, tapi kontak dengan Babe terus berlanjut. Terutama menyangkut berita HIV/AIDS di media massa nasional, Babe selalu minta tanggapan saya dan saya pun selalu mengirimkan tanggapan dalam bentuk tulisan atau Surat Pembaca ke media cetak yang memuat berita yang kami diskusikan.
Tahun 2008 Babe meminta saya menjadi narasumber dan instruktur workshop “Berhubungan dengan Media dan Cara Penulisan Berita HIV/AIDS untuk peer group jaringan Odha Yayasan Spirita” di Kota Jambi, Jambi.
Tahun 2000 saya dan Babe jadi Anggota Panel Seleksi Proposal ‘Masri Singarimbun Research Award’ Tahap IV “Penyalahgunaan Narkoba” yang diselenggarakan Pusat Penelitian Kependudukan-Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta. Kami tergang ke Yogyakarta. Selesai kegiatan di Bulaksumur, kami berpisah karena ada kegiatan masing-masing. Tawaran untuk menginap kami tolak karena kami memilih jalan sendiri. “Saya mau ke rumah saudara, Bang,” kata Babe sambil memanggil becak. Babe menjalin hubungan keluarga dengan sebuah keluarga di Yogyakarta.
Setiap kali bertemu kami selalu terlibat dalam diskusi tentang HIV/AIDS, termasuk masalah-masalah yang terkait dengan orientasi seks. Beberapa kali kami kecewa membaca berita yang tidak objektif tentang HIV/AIDS dan seks. Belakangan saya kabari Babe bahwa saya mengurangi frekuensi mengirim tanggapan ke media cetak karena saya khawatir akan ada nada sumbang terhadap saya.
Di ICAAP Bali, 2009, kami ngobrol panjang di bawah pohon kelapa sambil menunggu angkutan wira-wiri yang disediakan panitia. Lagi-lagi Babe mengangkat bahu ketika saya tanya apa yang menarik dari kongres itu untuk dibagi ke masyarakat.
Saya lupa kapan persisnya pertemuan saya terakhir dengan Babe. Itu tidak jadi masalah karena kami satu cakupan dalam upaya menyebarluaskan informasi HIV/AIDS yang realistis. Saya akan terus melanjutkan niat kami agar tidak ada lagi informasi HIV/AIDS yang simpang-siur dan menyesatkan.
Selamat jalan, Babe. Semoga Dia memberimu ampunan di alam sana. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Ilustrasi (Repro: youtube.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H