Permintaan untuk berlanggaan dan tanggapan yang kami terima menunjukkan betapa informasi HIV/AIDS belum menjangkau banyak orang. Untunglah Ford Foundation juga mendanai ongkos kirim sehingga newsletter itu kami kirim kepada siapa saja yang minta berlangganan.
“Oon duduk di atas,” kata tukang becak di mulut jalan perumahan tempat Babe. Waktu itu banjir besar melanda Jabodetabek. Air sebatas pinggang orang dewasa. Saya sampai ke rumah Babe. Astaga, rumah Babe bagaikan kapal pecah karena jadi tempat menampung penduduk yang kebanjiran. Yang saya lihat hanya rumah Babe ada ‘pengungsi’.
Kami sering ‘berdebat’ soal terjemahan karena Babe orang Inggris asli sehingga makna kata lebih pas dia terjemahkan. Pada akhirnya hasil terjemahan yang kami hasilkan benar-benar berbatu Indonesia dan kata-katanya pun baku. Misalnya, tema Hari AIDS Sedunia (HAS) tahun 1999: Listen, Learn, Live. Banyak versi tapi tidak baku. Kami sepakat terjemahannya adalah: Dengar, Simak, Tegar. Ini kami cari padanan kata di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Simak dan tegar itu bermakna luas berbeda dengan terjemahan harfiah, misalnya, belajar dan hidup.
Ketika Bu Lia diganti oleh Dr Meiwita Budhiharsana konsentrasi saya beralih ke kesehatan reproduksi, tapi kontak dengan Babe terus berlanjut. Terutama menyangkut berita HIV/AIDS di media massa nasional, Babe selalu minta tanggapan saya dan saya pun selalu mengirimkan tanggapan dalam bentuk tulisan atau Surat Pembaca ke media cetak yang memuat berita yang kami diskusikan.
Tahun 2008 Babe meminta saya menjadi narasumber dan instruktur workshop “Berhubungan dengan Media dan Cara Penulisan Berita HIV/AIDS untuk peer group jaringan Odha Yayasan Spirita” di Kota Jambi, Jambi.
Tahun 2000 saya dan Babe jadi Anggota Panel Seleksi Proposal ‘Masri Singarimbun Research Award’ Tahap IV “Penyalahgunaan Narkoba” yang diselenggarakan Pusat Penelitian Kependudukan-Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta. Kami tergang ke Yogyakarta. Selesai kegiatan di Bulaksumur, kami berpisah karena ada kegiatan masing-masing. Tawaran untuk menginap kami tolak karena kami memilih jalan sendiri. “Saya mau ke rumah saudara, Bang,” kata Babe sambil memanggil becak. Babe menjalin hubungan keluarga dengan sebuah keluarga di Yogyakarta.
Setiap kali bertemu kami selalu terlibat dalam diskusi tentang HIV/AIDS, termasuk masalah-masalah yang terkait dengan orientasi seks. Beberapa kali kami kecewa membaca berita yang tidak objektif tentang HIV/AIDS dan seks. Belakangan saya kabari Babe bahwa saya mengurangi frekuensi mengirim tanggapan ke media cetak karena saya khawatir akan ada nada sumbang terhadap saya.
Di ICAAP Bali, 2009, kami ngobrol panjang di bawah pohon kelapa sambil menunggu angkutan wira-wiri yang disediakan panitia. Lagi-lagi Babe mengangkat bahu ketika saya tanya apa yang menarik dari kongres itu untuk dibagi ke masyarakat.
Saya lupa kapan persisnya pertemuan saya terakhir dengan Babe. Itu tidak jadi masalah karena kami satu cakupan dalam upaya menyebarluaskan informasi HIV/AIDS yang realistis. Saya akan terus melanjutkan niat kami agar tidak ada lagi informasi HIV/AIDS yang simpang-siur dan menyesatkan.
Selamat jalan, Babe. Semoga Dia memberimu ampunan di alam sana. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Ilustrasi (Repro: youtube.com)