Celakanya, sebagai orang justru ikut ‘menikmati’ pemerkosaan melalui berita di media cetak. Ini terjadi karena (tingkat) apresiasi sebagai besar masyarakat terhadap media massa sangat rendah sehingga tidak bisa melihat kesalahan media.
Tidak jelas apakah wartawan media online mengikuti UU Pers dan kode etik jurnalistik media cetak. Kalau mengkuti kode etik jurnalistik media cetak tentulah wartawan tidak akan menulis narasi yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Kalau saja hukuman di Indonesia dilakukan secara kumulatif, seperti di Amerika Serikat, maka Pisa akan menerima hukuman kurungan yang merupakan penjumlahan dari pembunuhan berencana, percobaan perkosaan, pencurian, perampasan, dst. Maka, hukumannya adalah: hukum mati atau kurungan puluhan bahkan ratusan tahun.
Sebagai kita sering melihat dari satu sisi, seperti aspek hak asasi manusia (HAM), yang sering hanya melihat HAM dari sisi pelaku atau tersangka sehingga mengabaikan HAM korban.
Hukuman untuk Pisa pun ditambah lagi karena dengan sengaja melakukan pelanggaran berat terhadap HAM korban yang menghilangkan hak hidup korban.
 Masyarakat didorong untuk mengkritik media massa melalui surat pembaca atau selisik di media sosial karena yang bisa menghukum wartawan dan media hanya hakim melalui sidang pengadilan. ***[Syaiful W. Harahap
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H