Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serial Santet #7 | ‘Ilmu’ Akan Mencari Tuannya Sendiri

30 Juli 2013   19:02 Diperbarui: 14 Juni 2018   04:46 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Ketika putra saya akil baligh mulai muncul tabiat buruk pada dirinya. Sering bolos sekolah, tidak mau salat, melawan kepada saya, berbohong, dll.

Semula saya pikir hal itu terkait dengan masa remaja. Tapi, ada yang selalu mengganggu pikiran saya. Jika dia marah tangannya bagaikan tangan harimau yang akan mencakar.

Suaranya mengaum persis seperti auman harimau. Hal ini juga sering terjadi pada ibunya kalau dia sedang marah sambil memanggil-manggil nama ayahnya.

Si Ibu tadi tidak mau membicarakan masalah yang dihadapi putra saya. Saya mencari jawabannya ke sana ke mari.

Seorang teman, paranormal, mengatakan bahwa anak saya ‘dititipi’ ilmu macan putih. Ilmu ini dimaksudkan sebagai ‘benteng’ untuk menjaga diri.

Tapi, karena ilmu diberikan kepada putra saya ketika dia masih duduk di SD, maka justru ilmu itu yang mengendalikan dirinya.

Setelah saya bujuk, akhirnya putra saya mau dibawa ke Banten. Dia menceritakan pengalamannya ketika dimandikan tengah malam di kota ”S”, Jawa Barat. Waktu itu dia kelas lima SD.

Selain dimandikan dengan air kembang di tengah malam, kakek, ibu dan pamannya juga mengganti nama putra saya. Soal penggantian nama itu saya sama sekali tidak diberitahu. Saya hanya mendengar selentingan dari putri saya yang juga hanya mendengar samar-samar dari dalam kamar tentang pembicaraan ibunya, kakek dan paman mereka di ruang tamu tentang penggantian nama abangnya itu.

“Ilmu ini nanti akan mencari tuannya sendiri kalau ”U” (panggilan putra saya-pen.) sudah dewasa,” kata putra saya menirukan ucapan pamannya.

Nah, nama putra saya diganti sebagai jalan untuk memasukkan ilmu ’macam putih’ tsb.

Memang, sejak putra saya akil baligh dan putri saya menstruasi mulai muncul sikap dan sifat buruk pada diri mereka. Karena terkait dengan sekolah saya pun ‘curhat’ kepada guru di sekolah anak saya.

Saya menemui guru kelas, guru agama, guru BP dan kepala sekolah.

Celakanya, beberapa guru yang saya temui menampik cerita saya tentang pengalaman saya terkait dengan perilaku kedua anak saya.

Guru BP di SMA swasta di Jakarta Timur, tempat putra saya bersekolah, sama sekali tidak mau mendengar cerita saya. Dia justru menceritakan kejahatan anak saya di sekolah itu, misalnya, sering bolos dan tidak mau salat Jumat di musola sekolah.

Kalau saja guru BP itu mau mendengar cerita saya tentulah persoalan yang dihadapi anak saya bisa menjadi pertimbangan untuk mendidiknya.

“Ah, saya belajar psikologi, Pak, itu hanya masalah pubertas,” kata guru putri saya di sebuah SD swasta di bilangan Pisangan Timur, Jakarta Timur, sambil membusungkan dada ketika saya ceritakan perubahan sikap dan perilaku putri saya setelah menstruasi.

Saya hanya bisa mengurut dada mendengarkan sanggahan Pak Guru itu.

Putri saya menstruasi sejak duduk di kelas enam SD. Sebelum menstruasi dia tidak pernah bolos.

Tapi, setelah menstruasi dia justru sering tidak mau masuk ke sekolah. Saya antar sampai pagar sekolah. Dia berontak. Tenagannya tidak menggambarkan tenaga seorang anak perempuan. Saya terdorong. Tangan saya diplintir. Matanya membelalak. Merah.

Akhirnya saya bawa dia pulang ke rumah, kemudian saya buat surat izin dan saya antar ke sekolahnya serta menemui kepala sekolah. Pak Guru itu bukan mengajak diskusi, tapi menampik cerita saya tentang pengalaman saya menghadapi putri saya.

Saya melihat air muka beberapa guru yang saya temui menunjukkan cibiran dan hinaan kepada saya. Saya hanya bisa mengira-ngira kalau mereka melihat saya sebagai orang bodoh karena percaya kepada mistik.

“Ya, ada, sih, riwayat tentang santet,” kata guru agama di sebuah SMP negeri di Jakarta Timur sambil meninggal saya di ruang guru ketika saya jelaskan tentang putri saya yang sering bolos.

Alhamdulillah. Beberapa guru mau mendengar cerita saya. Bahkan, seorang guru matematika putri saya di SMP menawarkan diri untuk memberikan les tambahan kepada putri saya. Tentu saja tawaran itu saya terima.

“Saya curiga kepada putri Bapak. Sorot mtanya tidak seperti anak sebayanya,” kata Bu Guru yang baik hati ini.

Pagar SMP tempat putri saya belajar hanya berbatas gang dengan rumah saya. Ternyata dia sudah tiga bulan tidak masuk sekolah. Guru kelasnya memanggil saya dan mengabarkan bahwa anak saya bolos selama tiga bulan lebih.

Astaga. Ada apa?

Padahal, belasan langkah dari pintu rumah dia sudah sampai ke gerbang sekolah.

Saya tidak tahu mengapa hal itu terjadi. Dengan berbagai cara dan dukungan dari guru kelas dan salah satu guru BP anak saya bisa dibujuk untuk sekolah.

Guru kelas anak saya di kelas satu SMP sangat membantu saya. Hampir tiap hari saya bertemu dan ngobrol tentang putri saya. Bukan karena Bu Guru kelas itu orang Batak, tapi karena dia bisa menerima penjelasan saya.

Setelah saya dan putri saya sering berobat ke Banten, barulah ketahuan mengapa dia sering bolos. “Di gerbang sekolah SD dan SMP ada boneka putri Bapak ditanam,” kata Pak Misbah di Cilegon, Banten, yang mengobati saya. Boneka itu boneka gorila yang menabuh drum yang dibeli pada satau penerbangan.

Boneka itu ‘dijaga’ makhluk halus. Ketika putri saya keluar rumah dan melangkah menuju gerbang dia ketakutan dan langsung belok kiri karen ada wujud gorila di gerbang sekolah. Dia pun melanjutkan perjalanan ke sebuah mal di Jalan Pemuda, Jakart Timur.

Menjelang magrib pas sekolah bubar dia sudah ada di rumah. Itulah yang dia lakukan selama tiga bulan membolos.

Mendengar cerita putri saya rasanya dada mau pecah. Yang saya lakukan adalah sujud syukur karena Dia telah melindingi putri saya dari bencana selama tiga bulan lebih. Soalnya, selama tiga bulan itu saya tidak pernah berpikir bahwa anak saya tidak sekolah. Wong, dinding rumah dan halaman sekolah itu Cuma dipisahkan gang kecil.

Selain itu kalau upacara hari Senin pun dia sering lemas nyaris pingsan. Begitu juga kalau olah raga. Setelah minta tolong kepada Pak Misbah akhirnya diketahui bahwa di dekat tiang bendera di halaman tempat upacara ada juga ’tanaman’ yang menjadi terminal untuk mengirim santet ke putri saya.

Untunglah guru olah raga mau mendengarkan permohonan saya agar anak saya diberikan izin ikut tidak upacara dan olah raga. Ketika upacara putri saya duduk di teras sekolah di belakang barisan. Pak Guru olah raga di SMP itu, Alhamdulillah, bisa memahami masalah yang dihadapi putri saya.

Semoga Tuhan memberikan ganjaran kepada guru-guru yang telah mendengarkan keluhan saya dengan hati yang tulus. Amin. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun