Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serial Santet #7 | ‘Ilmu’ Akan Mencari Tuannya Sendiri

30 Juli 2013   19:02 Diperbarui: 14 Juni 2018   04:46 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memang, sejak putra saya akil baligh dan putri saya menstruasi mulai muncul sikap dan sifat buruk pada diri mereka. Karena terkait dengan sekolah saya pun ‘curhat’ kepada guru di sekolah anak saya.

Saya menemui guru kelas, guru agama, guru BP dan kepala sekolah.

Celakanya, beberapa guru yang saya temui menampik cerita saya tentang pengalaman saya terkait dengan perilaku kedua anak saya.

Guru BP di SMA swasta di Jakarta Timur, tempat putra saya bersekolah, sama sekali tidak mau mendengar cerita saya. Dia justru menceritakan kejahatan anak saya di sekolah itu, misalnya, sering bolos dan tidak mau salat Jumat di musola sekolah.

Kalau saja guru BP itu mau mendengar cerita saya tentulah persoalan yang dihadapi anak saya bisa menjadi pertimbangan untuk mendidiknya.

“Ah, saya belajar psikologi, Pak, itu hanya masalah pubertas,” kata guru putri saya di sebuah SD swasta di bilangan Pisangan Timur, Jakarta Timur, sambil membusungkan dada ketika saya ceritakan perubahan sikap dan perilaku putri saya setelah menstruasi.

Saya hanya bisa mengurut dada mendengarkan sanggahan Pak Guru itu.

Putri saya menstruasi sejak duduk di kelas enam SD. Sebelum menstruasi dia tidak pernah bolos.

Tapi, setelah menstruasi dia justru sering tidak mau masuk ke sekolah. Saya antar sampai pagar sekolah. Dia berontak. Tenagannya tidak menggambarkan tenaga seorang anak perempuan. Saya terdorong. Tangan saya diplintir. Matanya membelalak. Merah.

Akhirnya saya bawa dia pulang ke rumah, kemudian saya buat surat izin dan saya antar ke sekolahnya serta menemui kepala sekolah. Pak Guru itu bukan mengajak diskusi, tapi menampik cerita saya tentang pengalaman saya menghadapi putri saya.

Saya melihat air muka beberapa guru yang saya temui menunjukkan cibiran dan hinaan kepada saya. Saya hanya bisa mengira-ngira kalau mereka melihat saya sebagai orang bodoh karena percaya kepada mistik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun