Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serial Santet #16 | Rambut Kemaluan dalam Buntalan Santet

13 Desember 2013   07:21 Diperbarui: 15 Juni 2018   09:08 8281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak ada ‘ustadz’ yang datang ke rumah (1996), yang disebutkan untuk ‘memagari’ rumah, berbagai kejadian yang tidak biasa mulai muncul.

Tapi, saya tidak mengaitkan kejadian-kejadian tsb. dengan ‘pagar’ rumah. Ada dua hal yang membuat saya tidak curiga, yaitu: Pertama, yang memasang seorang ustadz. Kedua, tentu tujuannya baik.

Namun, kejadian demi kejadian yang tidak biasa itu mendorong saya mencari penyebabnya. Menurut pembantu ustadz dan kerabat yang membawa ustadz tsb., dari Kota “S”, Jabar, mereka ‘menanam’ sesuatu di beberapa sudut rumah.

Saya hanya menemukan satu benda di pojok utara. Karena lantai semen tidak benda tsb. tidak bisa ditanam. Mereka ’menanam’ benda itu dengan cara melapisinya dengan semen sehingga menonjol seperti gundukan.

Bau Keringat

Gundukan saya bongkar. Ada benda yaitu bungkusan dengan kain putih seperti uncang (keempat sisi kain diikuat). Isinya: gabah, jarum, paku, beling, telur ayam, potongan-potongan pakaian (kemeja, celana dalam, kaos kaki), dll.

Benda itu saya buang ke tong sampah. Saya juga tidak berpikir lebih jauh karena saya sama sekali tidak curiga. Apalagi yangbenda itu ditanam oleh ustadz.

Tapi, setelah saya berobat ke Banten barulah ’misteri’ benda itu terkuak.

”Benda itu berfungsi sebagai terminal,” kata Misbah, salah satu yang mengobati saya.

Artinya, dukun santet yang dibayar oleh orang-orang yang memelihara pesugihan (mencari kekayaan dengan bantuan makhlus halus) memasukkan benda-benda ke tubuh saya dari ’tanaman’ itu.

Salah satu kejadian yang tidak biasa adalah kemeja, celana dalam dan kaos kaki saya hilang. Kaos kaki yang sering hilang adalah kaos kaki kiri.

”Ah, itu ulah pembantu. Kaos kaki hanyut ketika mereka buang air cucian.” Itulah jawaban yang saya terima jika kehilangan kaos kaki itu saya tanya di rumah.

Masuk akal.

Lalu, tentang kemeja?

”Bisa saja tertinggal di hotel.” Ini juga jawaban yang saya terima di rumah.

Memang, saya sering ke luar kota. Tapi, satu hal yang mereka tidak ketahui adalah: saya membedakan kemeja kerja ke kantor, ke luar kota tidak menginap, dan ke luar kota menginap.

Nah, kemeja yang hilang justru kemeja yang saya pakai ke kantor. Soalnya, kemeja itu berkeringat dan tidak langsung saya suruh rendam. Sedangkan kemaja yang saya pakai ke luar kota akan langsung saya rendam ketika sampai di rumah.

Rupanya, bau keringat di kemeja itu perlu sebagai ’petunjuk’ bagi makhluk halus yang membawa benda-benda ke tubuh saya.

Pertengkaran terus terjadi di rumah terkait dengan kemeja, celana dalam dan kaos kaki yang hilang. Soalnya, potongan-potongan kemeja, celana dalam dan kaos kaki ada dalam benda-benda yang ditarik dari tanah di rumah dan di kantor.

’Benda’ yang dimaksud adalah buntalan yang dibungkus kain putih berisi berbagai macam benda: jarum, paku, beling

Bagian badan yang juga ada dalam benda-benda yang ditarik adalah rambut dan rambut kemaluan.

Rambut Kemaluan

Soal rambut juga masih ada jawaban di rumah. ”Bisa saja orang mengambil rambut selesai potong rambut di salon.”

Ya, bisalah diterima.

Tapi, terkait dengan, maaf, rambut kemaluan, tentulah tidak mungkin ada orang lain yang memotong atau mencabutnya dari badan saya. Dan, ini tidak saya persoalkan di rumah karena hal itu sudah membuktikan siapa yang ’mencuri’ kemeja, celana dalam, kaos kaki dan rambut.

Benda-benda berupa buntalan yang sudah ditarik dari berbaga tempat, al. di rumah, kantor dan jalan raya sudah dua puluhan. Menurut Misbah, buntalan itu jumlahnya sesuai dengan tanggal lahir saya.

Ada beberapa yang belum diambil karena saya khawatir kalau diangkat pemilik bangunan yang pernah saya kontrak akan menuduh saya yang mengirim santet.

Belakangan ’media’ untuk memasukkan benda-benda ke tubuh saya dilakukan dengan ’membawa’ sesuatu ke rumah, misalnya, beras, kertas, dll.

”Om, tadi malam anaknya lewat di depan kantor.” Itulah yang sering saya terima dari tetangga dekat kantor saya di bilangan Pisangan Lama, Jakarta Timur.

Di depan pintu ada sebaran besar. Di waktu yang lain ada potongan kertas. “Ya, itu jalan untuk mengirim santet,” kata Misbah.

Biar pun saya dan putri saya sudah lolos dari ‘daftar’ tumbal, putri saya nomor 9 dan saya nomor 10,karena ‘diganti’ dengan yang memelihara pesugihan dan saudaranya, tapi serangan santet masih saja terus ditujukan ke saya.

Kali ini sebagai balas dendam karena dukun mengatakan kematian yang memelihara pesugihan itu karena kiriman saya kembalikan.

Padahal, semua yang mengobati saya selalu melarang mengirim balik benda-benda yang diangkat dari badan saya dan putri saya.

“Untuk apa, Pak,” kata Bu Haji di Banten. Soalnya, kalau benda-benda itu dikirim balik ke yang membayar dukun santet itu artinya sama saja dengan mereka.

Saya berserah diri kepada-Nya, namun saya pun tetap berobat jika ada benda yang masuk ke tubuh saya. Soalnya, kalau benda-benda itu dibiarkan di dalam tubuh itu akan mengganggu kesehatan. ***[Syaiful W. Harahap]***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun