Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seks Bebas Jargon yang Bebas Stigma Sebagai Pembenaran Berzina dan Melacur

2 Juni 2013   07:58 Diperbarui: 13 Juli 2024   09:08 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Simbol seks. (Sumber: pixabay.com)

Biar pun lokasi dan lokalisasi pelacuran di banyak daerah sudah ditutup, tapi praktek pelacuran terus terjadi dengan berbagai bentuk dan di sembarang tempat.

Hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) adalah kegiatan melacur yaitu hubungan seksual di luar nikah sebagai bentuk zina.

Tapi, akhir-akhir ini melacur dan berzina tidak lagi dipakai sebagai bentuk hubungan seksual di luar nikah. Zina dan melacur diganti dengan ‘seks bebas’. Bahkan, di kawasan Cirebon, Jawa Barat, tempat pelacuran disebut sebagai ‘esek-esek’.

Seorang wartawan yang mengikuti sebuah pelatihan berbisik: “Bang, di sini (maksudnya di wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon-pen.) tidak boleh menulis berita dengan menyebutkan tempat atau lokasi pelacuran.”

Kalau ada wartawan yang menulis bahwa di jalur pantura (pantai utara) ada pelacuran, maka wartawan itu akan ‘disemprot’ pejabat dan pemuka masyarakat.

Maka, ‘seks bebas’ adalah eufemisme yang diberikan kepada zina dan melacur. Dan, ini dijadikan sebagian orang sebagai pembenaran untuk melakukan zina dan melacur karena mereka melakukan ‘seks bebas’.

Jika seorang laki-laki beristri melakukan hubungan seksual dengan perempuan lajang (gadis atau janda) masyarakat menyebutnya sebagai ’seks bebas’, maka laki-laki itu pun di atas angin: ”Saya tidak berzina, tapi ‘seks bebas’.”

Sepasang muda-mudi melakukan hubungan seksual dalam bentuk seks pranikah. Mereka pun merasa aman karena dituding melakukan ‘seks bebas’ bukan zina.

Begitu pula dengan laki-laki dewasa, lajang atau beristri, yang melakukan hubungan seksual dengan PSK sebagai hubungan seksual dalam bentuk melacur, lagi-lagi merasa dirinya tidak melacur karena kegiatan itu adalah ’seks bebas’.

Hal yang sama juga terjadi pada laki-laki beristri yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan bersuami sebagai bentuk perselingkuhan. Mereka pun disebut sebagai pelaku ’seks bebas’ yang membuat mereka lolos dari stigma (cap buruk) karena tidak dikaitkan dengan zina.

’Seks bebas’ sendiri adalah istilah yang ngawur bin ngaco karena tidak jelas maknanya. Tidak ada hubungan seksual yang bebas atau gratis karena semua dengan pamrih biar pun dengan alasan ’suka sama suka’ tentulah ada imbalannya.

Istilah ini sendiri mundul di dekade 1970-an ketika ada gaya hidup sebagian anak muda, antara lain kalangan hippies, yang urakan dengan cara pergaulan yang khas, antara lain hubungan seksual yang terjadi di antara mereka.

Kalangan yang membalut lidah dengan moral pun menyebutnya sebagai free sex yang diterjemahkan secara bebas sebagai ’seks bebas’. Celakanya, dalam kosa kata Bahasa Inggris tidak ada laman (entry) free sex. Dalam banyak kamus tidak ada free sex.

Dalam sebuah kamus ditemukan laman free love yaitu hubungan seksual tanpa ikatan pernikah.

[Baca juga: ‘Seks Bebas’ Jargon Moral yang Menyesatkan dan Menyudutkan Remaja]

’Seks bebas’ pun kemudian menjadi jargon moral di Indonesia untuk menyebutkan kegiatan hubungan seksual di luar nikah.

Namun, ’seks bebas’ bebas dari stigma sehingga orang-orang yang melakukan ’seks bebas’ tidak lagi terbebani secara moral.

Tentu akan berbeda jika seorang suami tangkap basah dengan seorang perempuan yang bukan istrinya di sebuah tempat disebutkan bahwa laki-laki itu berzina. Ini akan memberikan stigma. Tapi, kalau disebut melakukan ’seks bebas’ tidak ada lagi beban karena jargon ini sangat ringan dan tidak ada stigma sosial.

Begitu pula dengan laki-laki dewasa yang pergi ke tempat pelacuran atau tempat-tempat hiburan yang menyediakan ’cewek’ akan melangkah dengan santai karena tidak ada lagi beban moral karena tidak ada stigma terhadap perilaku mereka.

Coba simak dialog ini:

”Dari mana, Pak,”

“Ah, habis dari tempat esek-esek.”

Jawaban itu sangat bermoral karena sama sekali tidak menunjukkan perbuatan yang amoral yaitu melacur.

Padahal, yang ditanya pulang dari ’warem’ (warung remang-remang tempat yang menyediakan ’cewek’ untuk hubungan seksual).

Membebaskan pelaku amoral, khususnya terkait dengan berzina dan melacur, dari stigma menjadi salah satu faktor yang mendorong sebagian orang jadi ringan tangan berzina dan melacur dalam berbagai bentuk. *** [Syaiful W. Harahap] ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun