Soal pernikahan mantan Mensesneg Moerdiono dengan perancang busana Poppy Dharsono disebutkan oleh Poppy Dharsono: “Tidak untuk kepentingan publik.” (Silet, “RCTI”, 23/3-2011).
Padahal, dalam agama Islam pernikahan dan perceraian harus diumumkan secara terbuka agar diketahui khalayak. Tapi, bukan penyebab pernikahan atau perceraian yang diumbar, seperti yang dikemas infotainment. Ini disebut pergunjingan yang diharamkan dalam agama Islam.
Baca juga: Menyoal Nilai (Berita) Infotainment
Poppy mengakui bahwa dirinya sudah melakukan ijab kabul dengan Moerdiono tanggal 14 Oktober 1998. Karena mereka menikah menurut syariat Islam, maka informasi tentang pernikahan mereka adalah hak publik. Ini untuk menghindarkan fitnah.
Maka, jalan yang dipilih oleh Moerdiono dan Poppy Dharsono yang menjadikan pernikahan ‘siri’ mereka sebagai privasi itulah yang membuat kegaduhan. Apalagi, kabar ‘nikah siri’ mencuat ketika ada proses perceraian antara Moerdino dan istrinya, Maryati, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Dalam agama Islam tidak dikenal kawin atau nikah siri. Sebuah pernikahan dalam Islam sah jika sudah memenuhi rukun, yaitu:
(1) ada calon mempelai laki-laki dan perempuan,
(2) wali dari calon mempelai perempuan,
(3) saksi dua orang laki-laki dari pihak calon mempelai perempuan,
(4) ijab yaitu ucapan penyerahan calon mempelai perempuan dari walinya atau wakilnya kepada calon mempelai laki-laki untuk dinikahi, dan
(5) kabul yaitu ucapan calon mempelai laki-laki untuk merima pernikahan.
Semua pernikahan yang sudah memenuhi rukun nikah sah sebagai suami-istri. Maka, yang dikenal dalam Islam adalah pernikahan yang tidak dicatat di KUA sehingga tidak ada buku akta nikah.
‘Nikah siri’ sering tidak dipublikasikan atau dirayakan karena terkait dengan berbagai masalah. Misalnya, tidak ada izin dari isteri bagi pegawai negeri sipil dan militer, tidak ada izin dari kantor, dll. Terkait dengan ‘nikah siri’ Moerdiono dan Poppy Dharsono tidak ada alasan yang dikemukakan Poppy mengapa pernikahan mereka ‘bukan untuk kepentingan publik’.
Ada kasus di sebuah pengadilan agama di Sumatera Utara. Seorang istri menggungat suaminya karena menikah dengan surat izin palsu. Di surat izin istri ternyata bukan tanda tangan, tapi cap jempol. Ini tidak sah karena istrinya tidak buta huruf. Rupanya, ketika istrinya tidur suami menempelkan cap jempol istrinya di surat izin bagi suami untuk menikah lagi.
Akibat buruk dari pernikahan yang tidak dicatat di KUA adalah anak-anak tidak bisa mendapat akte lahir karena tidak ada akta pernikahan. Tentu saja ini kerugian bagi anak-anak. Maaslah lain yang muncul adalah terkait dengan pembagian harta jika suami mengingal atau cerai dalam status ‘nikah siri’. Risiko lain adalah suami akan berlaku semena-mena karena tidak ada bukti hukum positif yang mengikat mereka. Jika bercerai hak-hak sebagai istri tidak bisa diberikan kepada istri yang dinikahi secara ‘siri’.
Ketika ada wacana untuk memberikan sanksi hukum pidana kepada pelaku ‘nikah siri’ dan ‘kawin kontrak’ muncul reaksi yang berlebihan. Tapi, fakta menunjukkan ‘nikah siri’ dan ‘kawin kontrak’ menimbulkan banyak persoalan, seperti yang terjadi pada Moerdiono dan Poppy Dharsono.
Bertolak dari kasus-kasus yang muncul karena ‘nikah siri’, maka wacana untuk memaksa setiap pernikahan berdasarkan agama dan kepercayaan wajib dilaporkan ke KUA bagi Islam dan ke Kantor Catatan Sipil untuk agama dan kepercayaan lain perlu dilanjutkan agar diatur dalam UU. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H