Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nikah Siri (Moerdiono-Poppy Dharsono) Konsumsi Publik

23 Maret 2011   20:12 Diperbarui: 16 Desember 2022   06:48 2500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(5) kabul yaitu ucapan calon mempelai laki-laki untuk merima pernikahan.

Semua pernikahan yang sudah memenuhi rukun nikah sah sebagai suami-istri. Maka, yang dikenal dalam Islam adalah pernikahan yang tidak dicatat di KUA sehingga tidak ada buku akta nikah.

‘Nikah siri’ sering tidak dipublikasikan atau dirayakan karena terkait dengan berbagai masalah. Misalnya, tidak ada izin dari isteri bagi pegawai negeri sipil dan militer, tidak ada izin dari kantor, dll. Terkait dengan ‘nikah siri’ Moerdiono dan Poppy Dharsono tidak ada alasan yang dikemukakan Poppy mengapa pernikahan mereka ‘bukan untuk kepentingan publik’.

Ada kasus di sebuah pengadilan agama di Sumatera Utara. Seorang istri menggungat suaminya karena menikah dengan surat izin palsu. Di surat izin istri ternyata bukan tanda tangan, tapi cap jempol. Ini tidak sah karena istrinya tidak buta huruf. Rupanya, ketika istrinya tidur suami menempelkan cap jempol istrinya di surat izin bagi suami untuk menikah lagi.

Akibat buruk dari pernikahan yang tidak dicatat di KUA adalah anak-anak tidak bisa mendapat akte lahir karena tidak ada akta pernikahan. Tentu saja ini kerugian bagi anak-anak. Maaslah lain yang muncul adalah terkait dengan pembagian harta jika suami mengingal atau cerai dalam status ‘nikah siri’. Risiko lain adalah suami akan berlaku semena-mena karena tidak ada bukti hukum positif yang mengikat mereka. Jika bercerai hak-hak sebagai istri tidak bisa diberikan kepada istri yang dinikahi secara ‘siri’.

Ketika ada wacana untuk memberikan sanksi hukum pidana kepada pelaku ‘nikah siri’ dan ‘kawin kontrak’ muncul reaksi yang berlebihan. Tapi, fakta menunjukkan ‘nikah siri’ dan ‘kawin kontrak’ menimbulkan banyak persoalan, seperti yang terjadi pada Moerdiono dan Poppy Dharsono.

Bertolak dari kasus-kasus yang muncul karena ‘nikah siri’, maka wacana untuk memaksa setiap pernikahan berdasarkan agama dan kepercayaan wajib dilaporkan ke KUA bagi Islam dan ke Kantor Catatan Sipil untuk agama dan kepercayaan lain perlu dilanjutkan agar diatur dalam UU. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun