Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

AIDS Jadi Ganjalan ‘Jalan Damai’ di Tanah Papua

24 Maret 2012   02:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:33 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau masalah HIV/AIDS menjadi ganjalan untuk mencapai ’damai’ di Tanah Papua tentu ada yang tidak pas. Jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi justru tidak masalah yang mendasar karena yang menjadi masalah utama adalah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK.

Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan perilaku laki-laki dewasa yang tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK. Sayang, dalam semua perda AIDS yang ada di Tanah Papua tidak satu pasal pun yang mengatur penggunaan kondom pada hubungan seksual dengan PSK secara konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/06/eufemisme-dalam-perda-aids-prov-papua/).

Penanggulangan yang dilakukan di Tanah Papua sampai sekarang baru sebatas penanganan di hilir. Penduduk asli yang sudah tertular HIV ditangani secara medis, tapi risiko tertular HIV (di hulu) tidak ditangani dengan cara-cara yang realistis.

Dikabarkan hasil penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang dibukukan dengan judul ”Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present And Securing the Future” (2009) sebagai upaya untuk damai ternyata menghadapi masalah sehingga proses perdamaian tersendat. Salah satu kendala itu adalah masalah HIV/AIDS.

Dari empat kunci perdamaian yang diusulkan salah satu adalah: ’paradigma baru pemberdayaan yang berfokus pada perbaikan layanan publik’. Pada kategori ini upaya penanggulangan HIV/AIDS menjadi bagian yang menjadi layanan publik. Tapi, langkah konkret tidak ada biar pun dana yang digelontorkan besar.

Anggaran untuk sektor pendidikan, misalnya, dialokasikan sebesar 20 persen. Tapi, dalam prakteknya hanya 4,9 persen yang terpakai. Hal yang sama terajdi pada sektor kesehatan, al. ditandai dengan jumlah kasus HIV/AIDS yang terus bertambah. Disebutkan dana ini tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat lokal, tapi penelusuran menunjukkan sepertiga dana tsb. justru masuk ke dalam rekening pemerintah daerah.

Fakta inilah yang tidak sampai ke masyarakat luas sehingga masyarakat Papua selalu menyalahkan Jakarta. Menurut Mufti: ” .... penyelewengan yang justru dilakukan oleh pemerintah daerah setempat."

Celakanya, Papua memilih mencari ’kambing hitam’ terkait dengan penyebaran HIV daripada membuat program yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/21/aids-di-tanah-papua-menyebar-karena-penyangkalan/).

Selama program penanggulangan tidak berpijak pada fakta, maka dana sebesar apa pun tidak akan bisa menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.  Dana itu pun bisa jadi ’rebutan’ dengan dalih program penanggulangan HIV/AIDS tapi hanya berkutat pada ranah moral, pada saat yang sama jumlah penduduk lokal yang tertular HIV terus bertambah. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun