"Setelah otonomi khusus, kasus HIV/AIDS kok meningkat? Padahal dana yang dialokasikan terbilang besar dan bisa dipakai untuk kampanye HIV/AIDS." Ini adalah pernyataan Mufti Makaarim, Direktur Eksekutif Institute for Defence Security and Peace Studies (IDSPS). (Penyelesaian Masalah Papua Masih Sisakan Kendala, www.gatra.com, 23/3-2012).
Ada beberapa hal tentang HIV/AIDS yang terkait langsung dengan pernyataan di atas.
Pertama, ada pernyataan ’kasus HIV/AIDS kok meningkat?’. Kalau yang dimaksud Mufti adalah laporan kasus jelas akan terus meningkat, bahkan sampai kiamat pun. Soalnya, pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya.
Kedua, jumlah kasus yang terdeteksi (10.725 di antaranya 116 balita) adalah penanganan di hilir. Langkah ini merupakan bagian dari upaya memutus mata rantai penyebaran HIV melalui penduduk yang sudah mengidap HIV. Artinya, ada pembiaran di hulu sehingga kian banyak penduduk lokal yang tertular HIV, terutama malalui sanggama tanpa kondom dengan PSK.
Pertanyaannya adalah: Apakah kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi merupakan hasil dari penyuluhan? Ternyata tidak! Soalnya, banyak kasus HIV/AIDS pada masyarakat lokal terdeteksi di masa AIDS ketika mereka berobat ke puskesmas atau rumah sakit. Penyakit yang mereka derita sulit sembuh sehingga harus dirawat. Penyakit itu terkait dengan HIV/AIDS.
Ketiga, biar pun ada dana yang besar untuk penanggulangan HIV/AIDS melalui dana otonomi khusus ternyata tidak mendorong masyarakat secara sukarela untuk melakukan tes HIV. Akibatnya, penyebaran HIV, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, terus terjadi secara horizontal di masyarakat lokal.
Celakanya, kampanye yang dilakukan tidak mengedepankan fakta medis tentang HIV/AIDS dalam materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Pasal-pasal dalam peraturan daerah (perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Tanah Papua, misalnya, tidak ada satu pun yang memberikan cara pencegahan yang konkret.
Ketika dunia memetik hasil dari sosialisasi kondom untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, terutama pada laki-laki dewasa dengan pekerja seks komersial (PSK), di Tanah Papua justru sebaliknya. Kondom diabaikan dan diganti dengan sunat pada laki-laki.
Masalah baru muncul karena tidak mudah bagi laki-laki dewasa Papua untuk disunat. Lagi pula sunat sudah diidentifikasikan dengan agama Islam sehingga bisa menimbulkan friksi sosial.
Yang jadi persoalan besar adalah sunat bukan untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, tapi menurunkan risiko karena kepala penis jadi keras. Padahal, luas kepala penis hanya sebagian kecil dari luas permukaan penis. Maka, risiko penularan tetap tinggi karena luas permukaan terbuka yang bisa menjadi pintu masuk HIV ketika sanggama.
Sayang, Pemprov Papua tetap memilih sunat daripada kondom (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/20/aids-di-papua-sunat-bisa-menjerumuskan-karena-dianggap-kondom-alam/).
Kalau masalah HIV/AIDS menjadi ganjalan untuk mencapai ’damai’ di Tanah Papua tentu ada yang tidak pas. Jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi justru tidak masalah yang mendasar karena yang menjadi masalah utama adalah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK.
Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan perilaku laki-laki dewasa yang tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK. Sayang, dalam semua perda AIDS yang ada di Tanah Papua tidak satu pasal pun yang mengatur penggunaan kondom pada hubungan seksual dengan PSK secara konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/06/eufemisme-dalam-perda-aids-prov-papua/).
Penanggulangan yang dilakukan di Tanah Papua sampai sekarang baru sebatas penanganan di hilir. Penduduk asli yang sudah tertular HIV ditangani secara medis, tapi risiko tertular HIV (di hulu) tidak ditangani dengan cara-cara yang realistis.
Dikabarkan hasil penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang dibukukan dengan judul ”Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present And Securing the Future” (2009) sebagai upaya untuk damai ternyata menghadapi masalah sehingga proses perdamaian tersendat. Salah satu kendala itu adalah masalah HIV/AIDS.
Dari empat kunci perdamaian yang diusulkan salah satu adalah: ’paradigma baru pemberdayaan yang berfokus pada perbaikan layanan publik’. Pada kategori ini upaya penanggulangan HIV/AIDS menjadi bagian yang menjadi layanan publik. Tapi, langkah konkret tidak ada biar pun dana yang digelontorkan besar.
Anggaran untuk sektor pendidikan, misalnya, dialokasikan sebesar 20 persen. Tapi, dalam prakteknya hanya 4,9 persen yang terpakai. Hal yang sama terajdi pada sektor kesehatan, al. ditandai dengan jumlah kasus HIV/AIDS yang terus bertambah. Disebutkan dana ini tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat lokal, tapi penelusuran menunjukkan sepertiga dana tsb. justru masuk ke dalam rekening pemerintah daerah.
Fakta inilah yang tidak sampai ke masyarakat luas sehingga masyarakat Papua selalu menyalahkan Jakarta. Menurut Mufti: ” .... penyelewengan yang justru dilakukan oleh pemerintah daerah setempat."
Celakanya, Papua memilih mencari ’kambing hitam’ terkait dengan penyebaran HIV daripada membuat program yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/21/aids-di-tanah-papua-menyebar-karena-penyangkalan/).
Selama program penanggulangan tidak berpijak pada fakta, maka dana sebesar apa pun tidak akan bisa menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Dana itu pun bisa jadi ’rebutan’ dengan dalih program penanggulangan HIV/AIDS tapi hanya berkutat pada ranah moral, pada saat yang sama jumlah penduduk lokal yang tertular HIV terus bertambah. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H