Mengapa banyak kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi?
Ya, itu terjadi karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Di beberapa negara di Asia ada sistem yang bisa mendeteksi penduduk yang mengidap HIV/AIDS yaitu melalui survailans tes HIV (Lihat Gambar 3).
Disebutkan pula oleh Irwan: ” .... kecenderungannya para penderita lebih memilih untuk menutup diri.”
Pernyataan itu tidak akurat karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak di masyarakat terjadi karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Ini terjadi antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV.
Justru orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak menutup diri karena mereka membutuhkan perawatan dan pengobatan. Kalau mereka menutup diri maka obat antiretroviral (ARV), yaitu obat untuk menekan laju perkembangan HIV di darah, tidak bisa mereka peroleh secara gratis.
Di bagian lain Irwan juga mengatakan: “Mereka yang terkena AIDS, biasa menyembunyikan diri dan malu. Sehingga kita tidak tahu berapa data sebenarnya. Makanya tidak terdata secara pasti jumlahnya.”
Pernyataan Irwan itu jelas tidak akurat. Itu hanya asumsi karena pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak komprehensif.
Kalau dalam perda itu tidak ada cara-cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret, maka Pemprov Sumbar tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H