Pijakan moral pada perda ini kian kental di pasal 13 ayat 1 huruf d: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada setiap orang dilakukan melalui memeriksakan diri bagi calon pasangan suami istri.”
Seperti dijelaskan di atas tes HIV erat kaitannya denga masa jendela. Kalau calon pengantin itu tes HIV pada masa jendela, maka hasilnya bisa negatif palsu atau positif palsu.
Kalau hasil tes negatif palsu maka bencana akan terjadi pada pasangan suami istri itu karena mereka tidak menyadari HIV sudah ada di antara mereka.
Sebaliknya, bagi yang hasil tes positif palsu maka pernikahan bisa batal. Padahal, tes itu tidak akurat.
Selain itu tes HIV bukan vaksin. Artinya, biar pun tes HIV pasangan itu HIV-negatif itu tidak jaminan selamanya mereka akan HIV-negatif karena bisa saja terjadi di antara mereka melakukan perilaku berisiko setelah menikah. Jika pasangan itu kelak terdeteksi mengidap HIV, maka hasil tes sebelum menikah akan menjadi ’senjata’ bagi mereka untuk saling menyalahkan.
HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga pencegahan dapat dilakukan dengan cara-cara yang konkret. Tapi, karena perda ini bermuatan moral maka pencegahan pun berupa mitos (anggapan yang salah).
Lihat saja di pasal 15 ayat 2 huruf a: ”Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah.” Pasal ini jelas normatif karena secara biologis hubungan seksual bisa dilakukan kapan saja. Lagi pula jika dikaitkan dengan penularan HIV, maka tidak ada kaitan lansung antara penularan HIV dan ’hubungan seksual sebelum menikah’. Penularan HIV bisa terjadi di dalam dan di luar nikah bagi yang belum atau sudah menikah.
Di pasal 15 ayat 2 huruf b: ”Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah.” Lagi-lagi pasal ini menunjukkan perancang perda ini tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL (salah satu mengidap HIV dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL (dengan pasangan yang tidak sah).
Lagi pula belakangan ini muncul kecenderungan ’nikah’ antara laki-laki ’hidung belang’ dengan PSK atau perempuan yang berganti-ganti. Di kawasan Puncak, Jawa Barat, terjadi ’kawin kontrak’ (dengan rentang waktu yang disepakati) antara perempuan lokal dan pendatang dengan ’wisatawan’ dari Timur Tengah. Secara hukum ’nikah’ itu sah karena sudah memenuhi rukun nikah, tapi risiko penularan HIV tetap bisa terjadi karena perempuan yang ’dinikahi’ adalah orang yang perilakunya berisiko tertular HIV karena sering berganti-ganti pasangan.
Di pasal 15 ayat 2 huruf c: ” Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib menggunakan alat pencegah bagi pasangan yang sah dengan HIV positif.” Persoalannya adalah banyak suami yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV sehingga tidak memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya. Buktinya, sudah ada istri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS atau bayi yang dilahirkan dengan HIV/AIDS. Istri tertular HIV dari suaminya, dan ketika istri hamil terjadi pula penularan kepada bayi yang dikandungnya.
Karena pemahaman terhadap HIV/AIDS berpijak pada moral, maka langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pun tidak lagi konkret.