Kondisi itulah yang luput dari perhatian elit di Tanah Papua. Padahal, sudah ada pengalaman buruk yaitu sebuah suku (Marind) di Merauke nyaris punah karena penyakt. Untunglah ada misionaris Katolik yang menanganinya sehingga suku itu tidak punah.
[Baca juga: Menyelamatkan (Suku-suku) Tanah Papua dari Ancaman AIDS]
Penanggulangan HIV/AIDS di Tanah Papua pun tidak dilakukan dengan konkret. Pendeta pun menentang sosialisasi kondom tapi tidak memberikan cara penanggulangan yang konkret.
Belakangan muncul pula wacana sirkumsisi (sunat) sebagai langkah untuk menanggulangi HIV/AIDS. Padahal, sunat bukan mencegah penularan HIV tapi hanya menurunkan risiko.
Jika Jakarta melihat Tanah Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sudah saatnya dilakukan dialog ’meja bundar’.
[Baca juga: Mencari ‘Jalan Tengah’ Penyelesaian ‘Gejolak’ di Tanah Papua]  Â
Kalau ’pergolakan’ di Tanah Papua terus berlanjut dan hanya diatasi secara politis dan keamanan, maka persoalan tidak akan pernah selesai. Rakyat di Tanah Papua akan terus menderita, sedangkan pejabat dan elite di sana ’berdendang ria’ menikmati kehidupan pada kedudukannya. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H