‘Bara Papua’ (akan) kian membara karena sudut pandang yang berbeda dalam memandang pesoalan di Tanah Papua. Penembakan dan kekerasan terus terjadi. Friksi horizontal, al. dipicu hasil pemilukada pun memakan korban jiwa.
Di satu pihak Jakarta mengatakan Rakyat Papua masuk ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan patokan tanggal 15 Mei 1962, sedangkan ’rakyat’ Papua merasa mereka dianeksas (disatukan secara).
Upaya mengembalikan Irian Barat ke Indonesia bermula dari pidato Presiden Soekarno di Yogyakarta (19 Desember 1961) yang mencanangkanTri Komando Rakyat (Trikora), yaitu:
1) Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial.
2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Tahun 1969 diselenggarakan pula Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat. Hasil Peprea rakyat Irian Barat tetap menghendaki sebagai bagian dari wilayah RI.
Ketika masuk ke RI dikenal sebagai Irian Barat yang kemudian diganti menjadi Papua. Kemudian dimekarkan menjadi Prov Papua dan Prov Papua Barat.
Perbedaan sudut pandang inilah yang memicu konflik di Tanah Papua. Celakanya, Jakarta seakan tidak ’mendengar’ perbedaan sudut pandang itu.
Padahal, Aceh pun ’bergolak’ karena Tanah Rencong dianggap bukan bekas jajahan kolonial Belanda karena secara de facto tidak pernah dijajah Belanda.
Terkait dengan perbedaan sudut pandang di Aceh, Jakarta memberikan keistimewaan kepada Aceh yaitu: diberikan izin menerapkan syariat Islam, ada partai lokal dan dewan perwakilan rakyat lokal. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi partai.