Ada kemajuan di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Sekarang pedagang cenderamata di trotoar jalan yang terkenal itu sudah berani menawarkan barang tanpa label harga.
Selama ini di Malioboro ada dua ‘kutub’ yaitu pedagang lokal dan pendatang. Pedagang lokal biasanya memasang label harga yang hanya bertambah sedikit dari modal, sedangkan pendatang tidak memasang label harga sehingga mereka menawarkan barang jauh dari harga modal.
Baca juga: Harga Berlabel dan Tidak Berlabel di Malioboro Yogyakarta
Sayang, pedagang local tetap kurang lihai menawarkan barang dagangannya. Rupanya, ada pedagang lokal yang hanya dititipkan barang dagangan, seperti kemeja, T-Shirt, dll. dengan imbalan Rp 1.000/potong.
Misalnya, modal kemeja putih Rp 25.000. Pemilik barang meminta pedagang menjual Rp 30.000. Dari harga jual ini pemilik barang mendapat untung Rp 4.000 dan pedagang Rp 1.000.
Nah, kalau laku di atas harga Rp 30.000? “Ya, tetap saja saya hanya terima Rp 1.000,” kata seorang pedagang di sana.
Maka, ketika ada yang menawar kemeja pedagang tadi hanya berani membuka harga Rp 35.000 dan tawar-menawar berhenti ketika calon pembeli menyebut angka Rp 30.000. Bandingkan dengan pedagang lain yang membuka harga Rp 50.000. Tawar-menawar berhenti pada harga Rp 35.000. Pedagang ini meraup untung Rp 10.000.
Agaknya, itulah salah satu faktor yang membuat pedagang lokal enggan mewarkan barang jauh di atas harga jual yang ditetapkan pemilik barang. Jika dilihat dari aspek bisnis, maka cara yang diterapkan pemilik barang tsb. tidak mendorong pedagang lokal berkembang.
Sedangkan pedagang pendatang biasanya mempunyai modal untuk membeli barang sehingga mereka bebas membuka harga untuk tawar-menawar.
Bagi pelancong yang akan membeli cenderamata khas Yogyakarta tetap bias memperikirakan harga dengan melihat label harga di toko-toko sepanjang jalan itu.
Mengapa pedagang lokal hanya nrimo permintaan pemilik barang?
Rupanya, mereka ‘ditakut-takuti’ melalui mitos (anggapan yang salah) yaitu tidak baik mencari untung yang berlebihan. Agaknya, pedagang lokal termakan isu ini. Maka, tidak heran kalau sebagian dari mereka tidak berani mencari untung besar.
Dalam kaitan itulah diharapkan Dinas Pengelolaan Pasar serta Dinas Perindustrian, Perdagangan, Komperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta memberikan pelatihan kepada pedagang lokal tentang bisnis serta praktek tawar-menawar yang komprehensif.
Tanpa campur tangan pemerintah kota pedagang lokal akan kian terpuruk di tengah persaingan yang kian sengit di trotoar itu.
Beberapa pedagang pun mulai melihat gelagat tak elok karena ada razia Satpol PP. “Saya khawatir cara itu sebagai upaya untuk menggusur kami,” kata seorang pedagang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Razia yang dilakukan Satpol PP rupanya adalah memastikan kepatuhan para pedagang di sana. Pedagang yang memajang dagangan di sisi timur di trotoar sebelah barat Jalan Malioboro hanya boleh sampai ‘garis putih’ (terbuat dari ubin berwarna putih).
Sedangkan di sisi barat di teras toko tidak ada tanda. Tidak jelas apakah itu menandakan di tempat itu tidak boleh memajang barang dagangan atau tidak ada batas. Pedagang di sisi barat trotoar memanfaatkan took-toko yang tutup atau di sisi kiri dan kanan toko yang buka.
Selain batas itu ada pula batas ketinggian pajangan yaitu maksimal 1,25 meter. Tapi, beberapa pedagang memajang barang dagangan melebihi ketentuan ini.
Pelancong dapat mendukung aturan itu, misalnya, tidak membeli barang pada pedagang yang tidak mematuhi aturan. Ini merupakan bentuk kepedulian terhadap penegakan hukum. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H