Mengapa pedagang lokal hanya nrimo permintaan pemilik barang?
Rupanya, mereka ‘ditakut-takuti’ melalui mitos (anggapan yang salah) yaitu tidak baik mencari untung yang berlebihan. Agaknya, pedagang lokal termakan isu ini. Maka, tidak heran kalau sebagian dari mereka tidak berani mencari untung besar.
Dalam kaitan itulah diharapkan Dinas Pengelolaan Pasar serta Dinas Perindustrian, Perdagangan, Komperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta memberikan pelatihan kepada pedagang lokal tentang bisnis serta praktek tawar-menawar yang komprehensif.
Tanpa campur tangan pemerintah kota pedagang lokal akan kian terpuruk di tengah persaingan yang kian sengit di trotoar itu.
Beberapa pedagang pun mulai melihat gelagat tak elok karena ada razia Satpol PP. “Saya khawatir cara itu sebagai upaya untuk menggusur kami,” kata seorang pedagang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Razia yang dilakukan Satpol PP rupanya adalah memastikan kepatuhan para pedagang di sana. Pedagang yang memajang dagangan di sisi timur di trotoar sebelah barat Jalan Malioboro hanya boleh sampai ‘garis putih’ (terbuat dari ubin berwarna putih).
Sedangkan di sisi barat di teras toko tidak ada tanda. Tidak jelas apakah itu menandakan di tempat itu tidak boleh memajang barang dagangan atau tidak ada batas. Pedagang di sisi barat trotoar memanfaatkan took-toko yang tutup atau di sisi kiri dan kanan toko yang buka.
Selain batas itu ada pula batas ketinggian pajangan yaitu maksimal 1,25 meter. Tapi, beberapa pedagang memajang barang dagangan melebihi ketentuan ini.
Pelancong dapat mendukung aturan itu, misalnya, tidak membeli barang pada pedagang yang tidak mematuhi aturan. Ini merupakan bentuk kepedulian terhadap penegakan hukum. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H