Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Penanggulangan AIDS dalam Muzakarah Ulama di Bandung 1995

12 Maret 2011   08:03 Diperbarui: 9 Desember 2024   21:39 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Poin (3) disebutkan: “Masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia dengan keimanan yang diyakininya dituntut untuk memahami dengan seksama ancaman dan bahaya HIV/AIDS, utamanya dengan memperkokoh ketahanan keluarga sakinah.”

Ini juga mendorong masyarakat melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena mengesankan Odha tertular HIV karena tidak mempunyai ketahanan keluarga yang sakinah. Bagaimana dengan yang tertular melalui transfusi darah, jarum suntik dan dari suaminya?

Cara yang disampaikan untuk mencapai tujuan yaitu perilaku yang bertanggungjawab sesuai dengan agama Islam agar dapat mencegah penyebaran HIV serta mengurangi dampak negatif. Caranya yaitu dengan menyebarluaskan pengetahuan/informasi tentang HIV/AIDS dapat dilakukan dengan melakukan Komunikasi, Informasi, Edukasi, dan Motivasi (KIEM). Pertanyaannya adalah: Apakah materi HIV/AIDS pada KIEM disampaikan secara akurat?

Mencegah penyebaran HIV dalam muzakarah ini juga tidak konkret. Misalnya, cara yang ditawarkan justru untuk yang sudah positif tertular HIV. Ini artinya menunggu orang tertular dan terdeteksi HIV dulu baru diajak mencegah penyebaran HIV. Padahal, sebelum terdeteksi orang-orang yang sudah tertular HIV sudah menyebarkan HIV tanpa mereka sadari.

Pada poin 5 petunjuk pencegahan disebutkan: “Bagi setiap pengidap HIV/AIDS dan penderita AIDS wajib memberitahukan tentang kesehatannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan jaminan kesehatannya.” Orang-orang yang terdeteksi HIV sudah menjalani konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah tes sehingga mereka sudah mengetahui dan mematuhi hak dan kewajibannya jika terdeteksi positif atau negatif.

Yang menjadi persoalan besar adalah orang-orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Selain itu orang-orang yang terdeteksi HIV tanpa melalui tes HIV yang sesuai dengan standar juga tidak mengetahui hak dan kewajibannya. Bahkan, mereka cenderung menjadi korban sehingga ada rasa dendam pada diri mereka (Berkali-kali Diusir Karena Dikenal Sebagai 'Pengantin AIDS').

Untuk yang potensial tertular HIV disebutkan pada poin 1: “Wajib memeriksakan kesehatan dirinya untuk mengetahui status positif/negatif.” Sayang tidak dijelaskan siapa (saja) yang potensial tertular HIV. Di beberapa daerah ada peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan AIDS yang di dalamnya ada aturan untuk memeriksakan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS. Hasil tes HIV akan akurat jika dilakukan setelah tertular tiga bulan karena pada rentang waktu sejak tertular sampai tiga bulan, disebut masa jendela, tubuh belum memproduksi antibody HIV. Soalnya, tes HIV dengan ELISA mencari antibody HIV di dala darah sehigga kalau darah diperiksa masa jendela maka hasilnya bisa negatif palsu (HIV sudah ada di daerah tapi tidak terdeteksi) atau positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi terdeteksi).

Lagi pula kalau ada kewajiban periksa kesehatan setiap tiga bulan maka pada rentang waktu itu sudah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari oleh orang-orang yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Seorang pekerja seks komersial (PSK), misalnya, dari mulai tertular sampai terdeteksi HIV, katakanlah tiga bulan, maka pada rentang waktu itu sudah ada 180 laki-laki (1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan) yang berisiko tertular HIV.

Di poin 3 disebutkan: “Bagi pasangan yang akan nikah wajib memeriksakan status kesehatannya untuk mengetahui status positif/negatifnya.” Ini juga tidak banyak gunanya karena kalau mereka menjalani tes tentu akan lebih buruk karena ada kemungkinan hasil tes HIV-negatif palsu. Lagi pula tes HIV bukan vaksin. Mereka menjalani tes sebelum menikah, tapi bisa saja selama perkawainan ada di antara pasangan itu yang melakukan perilaku berisiko sehingga tertular HIV [TesHIV Sebelum Menikah yang (Akan) Sia-sia]. 

Sedangkan untuk masyarakat umum disebutkan: “ .... perlu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan menuruti perintah dan menajuhi larangan-Nya, khususnya tentang larangan perzinaan dan hal-hal yang dapat mendorong kepadanya.” Tidak ada kaitan langsung antara zina dengan penularan HIV karena di dalam pernikahan pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Belakangan ini ada upaya untuk ‘menghalalkan zina’ melalui nikah mut’ah. Ada yang hitungan jam, hari, dst., seperti yang terjadi di kawasan Puncak, Jawa Barat. Tapi, biar pun menikah risiko penularan HIV tetap ada jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV atau perilaku seksnya berisiko (‘Pernikahan Singkat’ (Bisa) Mewariskan AIDS).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun