Ketika Indonesia ‘geger’ karena kematian ‘bule’ di Denpasar itu, di rumah sakit yang sama justru seorang WNI, pria asli Indonesia, 35 tahun, meninggal dunia juga karena penyakit terkait AIDS di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 23 Juni 1988.
Tes darah pria ini dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. Sekretaris Panitia Penanggulangan AIDS Depkes, dr Suriadi Gunawan, MPH, membenarkan hal itu. Tes dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. (Kompas, 22/7-1988).
Jika disimak diagram di atas WNI yang meninggal di Denpasar (1988) kemungkinan tertular HIV antara tahun 1973 dan 1983 dengan perhitungan rentang waktu mencapai masa AIDS antara 5 dan 15 tahun. Ini jauh sebleum EGH tiba di Bali.
Bahkan, tahun 1987 Depkes RI melaporkan 5 kasus HIV dan 2 kasus AIDS. Ini menunjukkan 2 kasus AIDS tertular antara tahun 1972 dan 1982. Maka, kalau ada asumsi atau anggapan bahwa AIDS dibawa orang ‘bule’ dari luar negeri maka fakta ini memupus asumsi tsb.
Di tahun 1984 Kepala Divisi Transfusi Darah PMI, Dr. Masri Rustam, mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir AIDS menyerang penerima transfusi darah pencegahan dilakukan dengan melarang kaum homoseksual atau waria menjadi donor darah.
Padahal, tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Surjaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.”
Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, temasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah, jarum suntik, dari ibu-ke-bayi yang dikandungnyua dan transplantasi organ tubuh.
Apakah orang yang tidak bertaqwa otomatis tertular HIV? Lalu, apa ukuran taqwa yang bisa mencegah penularan HIV, seperti melalui transfusi darah? Kemudian, apa alat ukur dan siapa yang bernak menakar ketaqwaan seseorang terkait dengan pencegahan HIV?
Begitu pula dengan pernyataan Ketua PMI yang mengesankan HIV/AIDS hanya ada di kalangan waria dan homoseksual. Ini pun menyuburkan mitos yang sampai sekarang sangat sulit dihapuskan dari memori sebagian orang Indonesia.
Tahun 1986 ada usulan dari kalangan dokter di RSCM Jakarta untuk melakukan suvailan tes HIV terhadap kalangan yang dianggap berisiko tinggi tertular HIV, al. pekerja seks dan homoseksual. Usul ini muncul karena di banyak negara kasus HV/AIDS mulai bermunculan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak ada kegiatan mendeteksi HIV/AIDS. Hal ini dikemukakan oleh dr Zubairi Djoerban, Kasub Hematologi, Bag. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSTM.