Berbagai pujian sampai sanjungan yang dialamatkan ke Timnas PSSI yang akan berlaga di final Piala AFF 2010 ternyata membuat banyak orang terlena. Bahkan, aroma politik dan agama (Islam) menjadi bagian dari sanjungan kepada tim sepakbola yang ditaburi 'bintang' naturalisasi.
Maka, ketika Timnas PSSI memakai Garuda yang merupakan lambing negara di kostum saya langsung teringat kepada 'tragedi' 1992. Ketika itu final Piala Thomas Cup. Tim Thomas Cup Indonesia yang ketika itu benar-benar jagoan di dunia ternyata takluk juga di tangan tim Thomas Cup Malaysia pada partai final di Stadion Negara, Kuala Lumpur, Malaysia dengan skor 3-2.
Ketika itu pendukung Malaysia meneriakkan: “Garuda Falls” sambil menjatuhkan spanduk ukuran raksasa bertuliskan “Garuda Falls” ....
Hal yang sama juga terjadi pada seorang petinju asal Timur Tengah yang menuliskan kata 'Islam' di bagian bokong celannya ketika berlaga di ring. Petinju itu kalah. Kekalahan itu mengesankan kekalahan Islam.
Mimpi buruk benar-benar terjadi. Minggu, 26 Desember 2010, PSSI kalah telak 0-3 dari kesebelasan Malaysia.
Untunglah tidak ada lagi teriakan “Garuda Falls”.
Teriakan itu sangat menyayat hati karena mengesakan negara yang runtuh. Konstum olahraga biasanya memakai logo persatuan olahraga dan bendera negara tersebut.
Maka, ketika 'Garuda' kalah mengesankan negara Indonesia runtuh. Berbeda halnya jika bendera yang dipakai sebagai lambing di kostum karena bendera lebih dekat dengan pemerintah(an).
'Kejayaan' dan 'kekuatan' Timnas PSSI merupakan bentuk hiperrealitas (hyperreality).
Kekuatan Timnas terhadap kesebelasan Malaysia diukur dari kemenangan PSSI lawan Malaysia di babak penyisihan dengan skor 5-1. Tidak ada realistis di sini karena kekuatan kesebelasan Malaysia yang berlaga di babak penyisihan itu bukan kekuatan penuh karena Malaysia sudah memastikan diri masuk semifinal.
Akibatnya, kemenangan telak itu dianggap sebagai 'keperkasaan' Timnas PSSI. Ini merupakan hyperreality karena tidak menggambarkan kekuatan kesebelasan Malaysia yang sebenarnya.