"21 Persen Pengidap HIV/AIDS di NTT Ibu Rumah Tangga.' Ini judul berita di www.mediaindonesia.com (18/12-2010). Disebutkan: Survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Nusa Tenggara Timur menunjukkan 21 persen dari 1.129 kasus HIV/AIDS di NTT adalah ibu rumah tangga. Direktur Pelaksana Harian PKBI NTT, Markus Alibrandi, mengatakan: kasus HIV/AIDS meningkat 300 persen dari 646 kasus pada 2009 menjadi 1.129 kasus hingga November 2010.
Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka pada laporan tidak akan pernah turun. Kasus di NTT bukan meningkat tapi bertambah. Kasus-kasus yang terdeteksi tidak otomatis merupakan insiden penularan pada rentang waktu 2009 - November 2010.
Kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga merupakan realitas sosial terakit dengan perilaku seksual suami-suami mereka. Selama ini ada anggapan yang salah yang melihat sosialisasi kondom sebagai pemicu laki-laki melakukan hubungan seksual di luar nikah. Fakta tentang suami-suami yang menularkan HIV kepada istrinya meruntuhkan anggapan yang keliru tsb. Kalau suami-suami itu memakai kondom tentulah risiko tertular HIV rendah.
Laki-laki 'hidung belang' enggan memakai kondom dengan 1001 macam alasan. Jika laki-laki 'hidung belang' tidak memakai kondom pada hubungan seksual dengan pasangan yang bergani-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti, maka mereka diminta untuk memakai kondom jika sanggama dengan istrinya agar istrinya terhindar dari HIV.
Disebutkan: Secara diplomatis Alibrandi mengatakan virus mematikan ini bisa menyerang siapa saja, tanpa memandang status dan jabatan, termasuk di antaranya ibu rumah tangga. Pernyataan ini tidak akurat karena HIV/AIDS tidak mematikan. Yang mematikan Odha (Orang dengan HIV/AIDS adalah penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS, setelah tertular HIV antara 5-15 tahun setelah tertular HIV, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Disebutkan pula: ' .... menyerang siapa saja menyerang siapa saja'. Ini pun tidak akurat. HIV tidak menyerang karena dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat di dalam tubuh manusia di darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI). Yang berisio tertular HIV adalah orang-orang yang perilakunya berisiko. Orang-orang yang perilakunya tidak berisiko tidak ada risiko tertular HIV.
Terkait dengan pekerja seks komersial (PSK) disebutkan ada sembilan persen. Ini alamat buruk bagi laki-laki 'hidung belang' di NTT.
Pertama, ada kemungkinan HIV pada PSK ditularkan oleh laki-laki penduduk asli atau pendatang di NTT. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, pria idaman lain (PIL), lajang, duda atau remaja. Merka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat.
Kedua, ada kemungkinan PSK yang 'beroperasi' di NTT sudah mengidap HIV ketika mereka tiba di NTT. Jika ada laki-laki 'hidung belang' yang tidak memakai kondom jika sanggama dengan PSK maka berisiko tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula di masyarakat. Semua terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV.
Ada pula pernyataan: Faktor penyebab tingginya kasus HIV/AIDS karena desakan kebutuhan hidup, faktor psikologis dan faktor sosial masyarakat lainnya. Faktor yang mendorong penyebaran HIV adalah perilaku, seperti sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK
Menurut Alibrandi: "Seorang pekerja seks komersial sulit ditawarkan untuk bekerja di sektor lain, karena pekerjaan tersebut dinilai lebih cepat mendatangkan uang." Andaikan tidak ada PSK langsung di NTT, penyebaran HIV masih saja akan terjadi karena ada penduduk yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Selain itu PSK tidak langsung juga menjadi persoalan besar karena tidak bisa dikenali. Transaksi seks dengna PSK tidak langsung tidak kasat mata. Mereka memakai kurir atau telepon dan bertemu di tempat-tempat yang tidak diduga sebagai tempat mesum, misalnya, rumah, kos-kosan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang.
Selain itu biar pun di NTT sama sekali tidak ada PSK langsung dan PSK tidak langsung: Apakah bisa dijamin tidak akan ada laki-laki NTT yang melakukan hubugan seksual berisiko di luar NTT?
Kalau jawabannya YA, maka NTT bisa bernapas lega karena tidak ada risiko penyebaran HIV.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar terkait penyebaran HIV di NTT karena kalau ada laki-laki penduduk NTT yang tertular HIV di luar NTT maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di NTT.
Pemprov NTT sudah menelurkan Perda No. 3/2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, sama seperti perda-perda serupa di Tanah Air Perda AIDS NTT pun hanya 'macan kertas'. Perda ini tidak bisa 'jalan' karena tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penyebaran HIV. (Lihat: Syaiful W. Harahap, Mengukur Peran Perda Penanggulangan AIDS NTT, http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/22/mengukur-peran-perda-penanggulangan-aids-ntt/).
Jika penanggulangan HIV/AIDS tetap dibalut dengan moral maka selama itu pula penyebaran HIV akan terjadi. NTT tinggal menunggu 'ledakan AIDS' karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi 'bom waktu'. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H