Kemajuan teknologi informasi (IT) juga sudah merambah ke arena diskusi dan debat. Kini, diskusi tidak harus dilakukan berhadap-hadapan di meja, tapi sudah berlangsung melalui internet dengan memanfaatkan fasilitas e-mail.
Salah satu arena diskusi melalui e-mail telah dikembangkan oleh AIDS-INA melalui mailing list, yang lebih populer dengan sebutan 'milis'.
Para peserta diskusi, jika ingin ikut harus mendaftarkan diri, bebas menyampaikan pendapat, ide atau gagasannya seputar masalah HIV/AIDS/PMS atau menanggapi persoalan yang dilontarkan di milis itu. Agaknya, yang banyak terjadi justru tanggapan terhadap suatu masalah.
Sejak Juli 1999 selama tiga bulan, misalnya, isu yang banyak ditanggapi peserta diskusi adalah masalah Lokalisasi Pelacuran Kramat Tunggak di Jakarta Utara.
Isu ini bermula dari peluncuran buku tentang Kramat Tunggak. Salah satu aspek yang mendapat tanggapan ramai adalah soal dampak positif dan negatif lokalisasi.
Rupanya, dalam makalah Depkes yang dibacakan pada peluncuran buku tadi dinilai banyak kalangan terdapat kontradiksi yang mereka sebut sebagai missed opportunity. Di satu pihak disebutkan bahwa lokalisasi dapat meningkatkan upaya-upaya promotif, kuratif dan rehabilitatif.
Tapi, di pihak lain disebutkan pula justru angka kejadian PMS lebih tinggi pada pekerja seks di lokalisasi daripada di luar lokalisasi. Inilah yang banyak ditanggapi. Peserta milis melihatnya dari berbagai sisi.
Misalnya, ada yang melihat angka di lokalisasi karena memang di sana surveilansnya berjalan lancar dan rutin, sedangkan di luar lokalisasi tidak ada surveilans yang rutin. Selain ada pula data yang dikemukakan berdasarkan penelitian di Surabaya yang menunjukkan angka PMS di kalangan pekerja seks di lokalisasi tidak jauh berbeda dengan pekerja seks di luar lokalisasi (Pattern of STD in female sex workers in Surabaya).
Masalah lokalisasi kian meruncing karena berbagai pihak melihatnya dari berbagai sisi dan aspek pula. Ditilik dari kesehatan masyarakat, lokalisasi dapat menjadi salah satu bagian dalam upaya untuk mempromosikan pencegahan PMS dan HIV, pengobatan dan rehabilitasi.
Tapi, di pihak lain ada yang melihat lokalisasi sebagai penyebar PMS. Ini semua terjadi karena sebagian kita menggunakan moral pribadi sebagai ukuran. Persoalannya, di negara-negara yang secara de facto dan de jure tidak terdapat (lokalisasi) pelacuran, tetap saja banyak terjadi PMS dan HIV/AIDS (lihat laporan UNAIDS Juni 1998).
Masalah lokalisasi kian runyam karena dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Padahal, seharusnya hal itu tidak perlu terjadi karena di luar lokalisasi pun terjadi hubungan seksual di luar nikah, seperti perselingkuhan, PIL, WIL, dan lain-lain.
Karena prostitusi tidak mungkin untuk dihapuskan maka lebih baik kalau ditangani dari sisi kesehatan masyarakat. Persoalannya, tidak jelas pihak mana yang paling berkompeten menangani lokalisasi. Selama ini lokalisasi berada di tangan Depsos.
Padahal, lokalisasi jelas lebih berat ke aspek kesehatan masyarakat sehingga menjadi bagian dari pekerjaan Depkes. Kelihatannya pemerintah melihat lokalisasi dari aspek sosial karena pelacuran berkaitan dengan patologi sosial.
Lagi pula, dampak prostitusi yang lebih parah justru pada aspek kesehatan, seperti penyebaran penyakit-penyakit menular seksual, HIV dan hepatitis B. Depsos sendiri menangani lokalisasi dan pekerja seks berkaitan dengan upaya rehabilitasi (sosial), sedangkan aspek kesehatan masyarakatnya nyaris luput.
Karena lokalisasi juga berkaitan dengan masalah perkotaan ada pula yang mengusulkan agar dibentuk semacam forum kesehatan kota yang dikaitkan dengan model kota sehat. Soalnya, kalangan LSM sudah sering mengajukan usulan mengenai penanganan prostitusi dan lokalisasi di perkotaan, tapi "Ibarat menggarami laut."
Akibatnya, banyak yang kecewa dan tidak peduli lagi. Jika ini yang terjadi tentu amat berbahaya karena epidemi HIV/AIDS dan penyebaran PMS sudah masuk ke populasi, dan lokalisasi merupakan salah satu mata rantainya.
Debat lokalisasi ini pun akhirnya ditanggapi oleh Menkes, dr. FA Moeloek, yang dalam e-mailnya ke milis AIDS-INA mengajak kalangan yang peduli untuk membicarakan masalah tersebut.
Namun, debat soal lokalisasi seakan tenggelam dan tidak ada kata sepakat yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menangani lokalisasi.
Ada pula yang mempersoalkan sampul buku Perempuan-perempuan Kramat Tunggak yang memakai foto dua perempuan yang matanya ditutup. Cara ini jelas mengingatkan kita kepada pelaku kriminalitas.
Biar pun kedua perempuan itu sudah setuju fotonya untuk dijadikan sampul buku, tetapi dampak sosialnya tentu akan sangat besar.
Bayangkan, jika suatu saat orang tua, keluarga atau pun anak-anak kedua perempuan itu kelak melihat sampul buku itu, tentu hal ini akan menimbulkan persoalan bagi mereka. Mereka pun tahu kalau anak atau ibunya ternyata dulu perempuan di Kramat Tunggak (baca: pekerja seks).
Hal itu tentu saja menyangkut tanggung jawab moral karena menyangkut etika pemuatan foto yang bisa dikaitkan dengan latar belakang (kehidupan) yang dianggap sebagai perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial dan agama.
Alangkah baiknya kalau ada kelanjutan gagasan pembentukan forum kesehatan kota dan pembicaraan dengan Menkes juga dirilis di milis AIDS-INA agar informasinya menyebar.
Milis ini seharusnya dapat dijadikan sebagai forum untuk menjembatani berbagai pihak dengan berbagai kalangan untuk memecahkan suatu persoalan bersama. Sayang, debat soal lokalisasi di milis ini tidak ditanggapi oleh Depsos. ***
(Sumber: Syaiful W. Harahap, Newsletter HindarAIDS No. 29, 20 September 1999)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H