Masalah lokalisasi kian runyam karena dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Padahal, seharusnya hal itu tidak perlu terjadi karena di luar lokalisasi pun terjadi hubungan seksual di luar nikah, seperti perselingkuhan, PIL, WIL, dan lain-lain.
Karena prostitusi tidak mungkin untuk dihapuskan maka lebih baik kalau ditangani dari sisi kesehatan masyarakat. Persoalannya, tidak jelas pihak mana yang paling berkompeten menangani lokalisasi. Selama ini lokalisasi berada di tangan Depsos.
Padahal, lokalisasi jelas lebih berat ke aspek kesehatan masyarakat sehingga menjadi bagian dari pekerjaan Depkes. Kelihatannya pemerintah melihat lokalisasi dari aspek sosial karena pelacuran berkaitan dengan patologi sosial.
Lagi pula, dampak prostitusi yang lebih parah justru pada aspek kesehatan, seperti penyebaran penyakit-penyakit menular seksual, HIV dan hepatitis B. Depsos sendiri menangani lokalisasi dan pekerja seks berkaitan dengan upaya rehabilitasi (sosial), sedangkan aspek kesehatan masyarakatnya nyaris luput.
Karena lokalisasi juga berkaitan dengan masalah perkotaan ada pula yang mengusulkan agar dibentuk semacam forum kesehatan kota yang dikaitkan dengan model kota sehat. Soalnya, kalangan LSM sudah sering mengajukan usulan mengenai penanganan prostitusi dan lokalisasi di perkotaan, tapi "Ibarat menggarami laut."
Akibatnya, banyak yang kecewa dan tidak peduli lagi. Jika ini yang terjadi tentu amat berbahaya karena epidemi HIV/AIDS dan penyebaran PMS sudah masuk ke populasi, dan lokalisasi merupakan salah satu mata rantainya.
Debat lokalisasi ini pun akhirnya ditanggapi oleh Menkes, dr. FA Moeloek, yang dalam e-mailnya ke milis AIDS-INA mengajak kalangan yang peduli untuk membicarakan masalah tersebut.
Namun, debat soal lokalisasi seakan tenggelam dan tidak ada kata sepakat yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menangani lokalisasi.
Ada pula yang mempersoalkan sampul buku Perempuan-perempuan Kramat Tunggak yang memakai foto dua perempuan yang matanya ditutup. Cara ini jelas mengingatkan kita kepada pelaku kriminalitas.
Biar pun kedua perempuan itu sudah setuju fotonya untuk dijadikan sampul buku, tetapi dampak sosialnya tentu akan sangat besar.
Bayangkan, jika suatu saat orang tua, keluarga atau pun anak-anak kedua perempuan itu kelak melihat sampul buku itu, tentu hal ini akan menimbulkan persoalan bagi mereka. Mereka pun tahu kalau anak atau ibunya ternyata dulu perempuan di Kramat Tunggak (baca: pekerja seks).