Pada pasal 15 ayat g angka 2 terkait dengan pencegahan disebutkan: setiap penanggung jawab tempat yang diduga berpotensi untuk terjadinya perilaku berisiko tertular HIV wajib memeriksakan kesehatan secara berkala bagi karyawan yang menjadi tanggung jawabnya. Pasal ini tidak sejalan dengan pasal 15 ayat c karena yang diwajibkan memakai ‘alat pencegah’ hanya pasangan yang sah sedangkan pada kegiatan (baca: hubungan seksual) yang berisiko terjadi penularan HIV tidak diwajibkan memakai ‘alat pencegah’.
Padahal, penularan HIV justru lebih banyak terjadi pada kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi yaitu: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.
Penyebutan ’tempat yang diduga berpotensi untuk terjadinya perilaku berisiko tertular HIV’ tidak akurat karena semua tempat di muka bumi ini, rumah, apartemen, kantor, losmen, hotel, taman, pantai, ladang, hutan, dll. bisa menjadi tempat yang berpotensi terjadi penularan HIV. Soalnya, perilaku berisiko tinggi tertular HIV bisa terjadi di semua tempat.
Kalau pasal ini mau ’menembak’ tempat-tempat yang menyediakan tempat untuk hubungan seks juga tidak pas karena yang menularkan HIV kepada karyawan di tempat-tempat itu justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, lajang, duda, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, sopir, peccopet, perampok, dll.
Rapid Test
Jika Perda ini dimaksudkan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk maka yang perlu diatur adalah kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV.
Harus ada pasal yang mengatur hal ini yang berbunyi: “Setiap orang yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti pasangan diwajibkan memakai kondom.” Selanjutnya disebutkan pula: “Setiap orang yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti pasangan diwajibkan melakukan tes HIV.”
Sayang, dalam Perda ini, termasuk perda-perda AIDS lain di Indonesia, tidak ada satu pasal pun yang yang mengatur upaya-upaya pencegahan dan memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk secara eksplisit. Semua aturan hanya berdasarkan norma, moral, dan agama yang sangat implisit yang justru tidak ada hubungannya secara langsung dengan penularan HIV.
Seperti pada pasal 15 ayat g angka 2 yang mengatur pemeriksaan kesehatan secara berkala sangat riskan terhadap penyebaran HIV. Seorang karyawan yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan tamu-tamunya berisiko tinggi tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari tamunya HIV-positif. Sejak karyawan tadi tertular HIV maka sejak itu pula dia bisa menularkan HIV kepada tamu-tamunya. Nah, kalau pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap minggu, setiap bulan atau setiap triwulan maka pada rentang waktu sebelum tes karyawan tadi sudah menularkan HIV kepada tamu-tamunya.
Pemeriksaan kesehatan berkala belum tentu bisa mendeteksi HIV pada karyawan tempat-tempat yang diduga berpotensi terjadi perilaku berisiko tertular HIV. Soalnya, kalau tes HIV dilakukan dengan rapid test atau ELISA maka tes ini baru akurat kalau yang dites sudah tertular HIV lebih dari tiga bulan.
Epidemi HIV menjadi persoalan besar karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, dan ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Dalam kaitan ini yang lebih pas untuk menanggulangi penyebaran HIV adalah orang per orang karena perilaku berisiko tinggi tertular HIV dilakukan oleh orang per orang.