Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengkhawatirkan Penyebaran HIV/AIDS di Pulau Bali

14 November 2010   07:13 Diperbarui: 14 Oktober 2022   17:39 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“7.000 Warga Bali Terinfeksi HIV.” Ini judul berita di okezone.com (13/11-2010). Dalam berita disebutkan sampai Oktober 2010 estimasi kasus HIV/AIDS di Provinsi Bali mencapai 7.000. Tapi, menurut Ketua Kelompok Kerja Humas dan Informasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, Mangku Karmaya, dari jumlah tersebut yang terdeteksi baru 3.778.

Karena tidak dibawa ke realitas sosial terkait dengan epidemi HIV, maka jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi dan tidak terdeteksi ibarat jejeran angka belaka. Padahal, dari data itu ada 3.222 kasus yang tidak terdeteksi. Ini artinya di masyarakat ada 3.222 penduduk, laki-laki dan perempuan, yang tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV sehingga mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari.

Dari aspek epidemiologi angka 3.222 ini sama artinya dengn mata rantai penyebaran H IV. Jika 3.222 penduduk yang belum terdeteksi itu mempunyai pasangan satu saja maka suah ada 6.444 kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi. Angka kasus yang tidak terdeteksi kian banyak kalau ada di antara yang belum terdeteksi itu ada pekerja seks komersial (PSK). Seorang PSK melayani tiga laki-laki setiap malam.

Dikabarkan sebelum tahun 2.000 penularan HIV terutama terjadi di kalangan homoseksual yang kemudian disusul penularan di kalangan pencandu narkoba dengan jarum suntik. Mangku Karmaya mengatakan: “Kalau kita tidak berbuat apa-apa, setiap tahun akan ada 840 pengidap HIV baru di Bali.”

Penularan melalui jarum suntik pada pengguna narkoba sudah pernah diingatkan oleh David Gordon, psikolog yang juga konsultan penyalahgunaan zat-zat adiktif (lihat: IDU Bom Waktu bagi Indonesia, http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/25/idu-bom-waktu-bagi-indonesia/) Dalam pidato pembukaan Dr Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS, pada Kongres Internasional AIDS Asia Pasifik VI (The Sixth International Congress on AIDS in Asia and the Pacific/ICAAP ) di Melbourne, Australia (2001) secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan IDU di Indonesia. (Syaiful W. Harahap, AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Harian “SUARA PEMBARUAN”, 6 Oktober 2001)

Sayang, tidak ada tanggapan positif dari pemerintah. Maka, jangan heran kalau sepuluh tahun kemudian kasus HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik meledak. Tapi, lagi-lagi penanggulangan yang dilakukan hanya ‘setengah hati’.

Disebutkan pula: “Kalangan heteroseksual itu lebih khusus lagi pada kalangan pekerja seks komersial (PSK), 25 persen dari sekitar 8.000 PSK sudah positif tertular HIV. Mereka potensial menulari pelanggannya yang setiap tahun diperkirakan mencapai 85.000 orang.”

PSK yang mengidap HIV memang akan menularkan HIV kepada laki-laki ‘hidung belang’ yang berkencan tanpa kondom dengan PSK. Tapi, ada fakta yang tidak muncul yaitu PSK ditulari oleh laki-laki penduduk asli atau pendatang. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, lajang, atau duda. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Tapi, ini luput dari penangangan karena yang selalu menjadi ‘sasaran tembak’ hanya PSK.

Jika di Bali ada 2.000 PSK yang HIV-positif ini mununjukkan laki-laki ‘hidung belang’ yang berisiko tertular HIV sangat besar. Seorang PSK meladeni tiga laki-laki setiap malam. Maka, dalam satu malam ada 6.000 laki-laki yang berisiko tertular HIV.

Ada pernyataan: ”Para pelanggan itu lalu berpotensi menebarkan virus ke kalangan masyarakat umum yakni kepada para ibu rumah tangga, pacar, atau wanita tak berdosa lainnya. Karmaya lalu menekankan pentingnya kampanye penggunaan kondom di kalangan mereka.” Penyebutan ‘wanita tak berdosa’ akan mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) kepada orang-orang yang tertular HIV karena dianggap mereka tertular karena berdosa.

Tidak ada kaitan langsung antara ’wanita tak berdosa’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Kalau PSK dikategorikan sebagai ’wanita berdosa’ bisa saja ada PSK yang terhindar dari HIV kalau dia hanya mau meladeni laki-laki, pelanggan, pacar atau suaminya, yang memakai kondom ketika sanggama.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Bali, I Gusti Ngurah Kesuma Kelakan, menyebutkan perlunya pemerintah memberi perhatian khusus. Sebelum masalahnya menjadi terlalu besar dan sulit diatasi. Persoalannya adalah penanggulangan HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama sehingga tidak menyentuh akar persoalan.

Coba simak dalam enam peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS di Prov Bali tidak satu pun ada pasal dalam perda-perda itu yang menawarkan pencegahan dan penanggulangan HIV yang konkret. Perda-perda yang ada yaitu (1) Perda Prov Bali No. 3/2006, (2) Kab Gianyar No. 15/2007, (3) Kab Buleleng No. 5/2007, (4) Kab Klungkung 3/2007, (5) Kab Badung No. 1/2008, dan (6) Kab Jembrana No. 1/2008.

Selama ini ’sasaran tembak’ hanya PSK sehingga laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK luput. Untuk itulah penyuluhan ditingkatkan dengan materi yang akurat agar laki-laki yang merasa dirinya berisiko tertular HIV karena perilaku seksualnya mau menjalani tes HIV secara sukarela.

Celakanya, informasi HIV/AIDS selama ini dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS, seperti cara-cara penularan dan pencegahan yang akurat, tidak sampai ke masyarakat.

Maka, jika Pemprov Bali tidak mengubah paradigma berpikir dalam menanggulangi epidemi HIV maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun