"32 Warga Mataram Tewas Karena HIV/AIDS." Ini judul berita di mediaindonesia.com (8/11-2010). Disebutkan: Hingga Juni 2010 ini, tercatat 31 orang meninggal akibat HIV/AIDS di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ini diungkapkan oleh Sekretaris Komite Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Mataram, dr Margaretha Cephas. Kasus HIV dan AIDS di Kota Mataram tercatat 169 terdiri atas 74 HIV dan 65 AIDS.
Angka-angka ini bagaikan tonggak karena tidak dibawa ke realitas sosial terkait dengan epidemi HIV. Angka 31 seakan-akan tidak ada artinya. Begitu pula dengan angka169 tentu tidak berarti jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Mataram. Tapi, ada beberapa hal yang terkait langsung dengan angka-angka tsb.
Pertama, angka-angka yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya ada di masyarakat Kota Mataram karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi atau dilaporkan hanyalah sebagian kecil (puncak gunung es yang muncul di atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan es yang ada di bawah permukaan air laut). Kasus-kasus yang tidak terdeteksi itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Penduduk yang sudah mengidap HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Kasus-kasus HIV dan AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat akan menjadi 'bom waktu' ledakan AIDS.
Kedua, 31 penduduk yang sudah meninggal terkait AIDS berarti mereka sudah tertular HIV antara 5 - 15 tahun sebelum meninggal. Itu berarti pada rentang waktu tsb. mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Laki-laki yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya atau pekerja seks komersial (PSK) secara horizontal. Jika ada istri yang tertular HIV dari suaminya maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertikal) terutama pada waktu melahirkan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Ketiga, 169 kasus HIV juga merupakan mata rantai. Paling tidak mereka sudah tertular HIV tiga bulan sebelum terdeteksi. Jika di antara mereka ada PSK maka selama tiga bulan seorang PSK sudah meladeni 60 laki-laki 'hidung belang' (1 PSK x 3 laki-laki 'hidung belang'/malam x 20 hari/bulan). Laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.
Keempat, 65 kasus AIDS juga merupakan persoalan besar dalam epidemi HIV di Kota Mataram karena mereka minimal sudah tertular HIV lima tahun sebelum terdeteksi. Kalau ada di antara mereka PSK maka seorang PSK sudah meladeni laki-laki 'hidung belang' sebanyak 3.600 (1 PSK x 3 laki-laki 'hidung belang/malam x 20 hari/bulan x 12 bulan x 5 tahun). Angka ini akan membesar jika yang terdeteksi HIV pada masa AIDS lebih dari satu PSK.
dr Margaretha mengatakan: "Selama ini kasus HIV/AIDS di Kota Mataram ditangai setelah kasus berada di hilir (Puskesmas atau Rumah Sakit), untuk itu tim pemetaan kasus HIV/AIDS akan melakukan penanganan mulai dari hulu." Inilah salah satu persoalan besar di Indonesia. Donor-donor asing lebih mengutamakan jumlah kasus yang terdeteksi. Akibatnya, penanganan di hulu tidak ada sehingga penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia hanya menunggu penduduk tertular HIV dulu baru ditangani. Masalah ini sudah diutarakan oleh penulis tahun 2009 melalui artikel di Harian "Swara Kita" (lihat Penanggulangan AIDS di Indonesia (Hanya) Dilakukan di Hilir: http:.....)
Akibatnya, kasus HIV kian membengkak karena pada rentang waktu sejak seseorang tertular HIV (hulu) sampai terdeteksi HIV (hilir) ybs. sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Ini yang sering luput dari perhatian karena semua mata tertuju kepada PSK.
Disebutkan pula oleh dr Margaretha: ' .... populasi kunci yang harus didata terutama, adalah penderita resiko tinggi dengan sasaran Wanita Pekerja Seks (WPS) yang biasanya ada di rumah bordir, dan jalanan, selain itu WPS tidak langsung yang berada di tempat hiburan." Ada fakta yang luput yaitu yang menularkan HIV kepada PSK langsung dan PSK tidak langsung justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari adalah 'suami baik-baik', lajang, remaja atau duda.
Selama ini yang selalu menjadi 'sasaran tembak' adalah PSK karena kita melihat epidemi HIV dengan kaca mata moral. Akibatnya, laki-laki penular HIV luput dari perhatian sehingga penyebaran HIV terus terjadi secara diam-diam.
Jika sasaran tetap pada 'populasi kunci' maka penyebaran HIV tidak akan pernah tertanggulangi karena laki-laki 'hidung belang' tidak dijangkau. Laki-laki 'hidung belang' merasa dirinya tidak berisiko karena mereka selalu melakukan hubungan seksual dengan satu PSK langsung atau tidak langsung sehingga mereka menganggap hal itu bukan berganti-ganti pasangan.
Disebutkan pula oleh dr Margaretha: "Pihaknya berharap terutama bagi camat lurah, agar segera melaporkan ke KPA jika menemukan titik polulasi kunci. "Agar kita bisa mencegah sedini mungkin penyebaran Aids."
Ini menunjukkan paradigma kita dalam menanggapi penyebaran HIV tetap bertumpu pada moralitas. Selalu mencari kambing hitam dan menyangkal perilaku berisiko sebagian penduduk Kota Mataram.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah Pemkot Mataram bisa menjamin 100% penduduknya tidak akan melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di wilahah Kota Mataram atau di luar Kota Mataram dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (pekerja seks di lokalisasi pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan pekerja seks tidak langsung ('cewek bar', 'cewek kampus', 'anak sekolah', WIL dan PIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.), serta pelaku kawin cerai?
Kalau jawabannya YA, maka tidak ada yang perlu dirisaukan oleh Pemkot Mataram. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemkot Mataram. Penduduk, terutama laki-laki, yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Penduduk yang sudah mengidap HIV banyak yang tidak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV.
Untuk itulah paradigma dalam menanggapi epidemi HIV harus dibalik. Yang menjadi 'sasaran tembak' bukan lagi PSK, tapi penduduk, khususnya laki-laki. Mereka diminta memakai kondom setiap kali sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.
Di Merauke, Papua, misalnya diterapkan perda yang bisa mengadili PSK yang meladeni laki-laki yang tidak memakai kondom ketika sanggama. Celakanya, KPA Kab Merauke khilaf karena satu PSK ditangkap puluhan PSK menggantikannya. Begitu seterusnya. Berbeda dengan Thailand yang menjadi 'kiblat' pembuatan perda di Indonesia yang kena sanksi adalah germo atau mucikari jika ada PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom. Soalnya, jika izin usaha germo dicabut maka memerlukan waktu untuk mengurus izin baru dan tidak pula otomatis akan muncul germo baru.
Sayangnya, dalam Perda Prov NTB No. 5/2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS sama sekali tidak ada pasal yang menawarkan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi penyebaran HIV. Yang dikedepankan hanya moral sehingga tidak menyentuh akar persoalan.
Selama KPA Kota Mataram tetap mengedepankan moral dalam menanggulangi epidemi HIV maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Tinggal menunggu ledakan AIDS karena banyak penduduk yang sudah mengidap HIV tidak terdeteksi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H