Disebutkan pula oleh dr Margaretha: "Pihaknya berharap terutama bagi camat lurah, agar segera melaporkan ke KPA jika menemukan titik polulasi kunci. "Agar kita bisa mencegah sedini mungkin penyebaran Aids."
Ini menunjukkan paradigma kita dalam menanggapi penyebaran HIV tetap bertumpu pada moralitas. Selalu mencari kambing hitam dan menyangkal perilaku berisiko sebagian penduduk Kota Mataram.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah Pemkot Mataram bisa menjamin 100% penduduknya tidak akan melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di wilahah Kota Mataram atau di luar Kota Mataram dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (pekerja seks di lokalisasi pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan pekerja seks tidak langsung ('cewek bar', 'cewek kampus', 'anak sekolah', WIL dan PIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.), serta pelaku kawin cerai?
Kalau jawabannya YA, maka tidak ada yang perlu dirisaukan oleh Pemkot Mataram. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemkot Mataram. Penduduk, terutama laki-laki, yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Penduduk yang sudah mengidap HIV banyak yang tidak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV.
Untuk itulah paradigma dalam menanggapi epidemi HIV harus dibalik. Yang menjadi 'sasaran tembak' bukan lagi PSK, tapi penduduk, khususnya laki-laki. Mereka diminta memakai kondom setiap kali sanggama dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.
Di Merauke, Papua, misalnya diterapkan perda yang bisa mengadili PSK yang meladeni laki-laki yang tidak memakai kondom ketika sanggama. Celakanya, KPA Kab Merauke khilaf karena satu PSK ditangkap puluhan PSK menggantikannya. Begitu seterusnya. Berbeda dengan Thailand yang menjadi 'kiblat' pembuatan perda di Indonesia yang kena sanksi adalah germo atau mucikari jika ada PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom. Soalnya, jika izin usaha germo dicabut maka memerlukan waktu untuk mengurus izin baru dan tidak pula otomatis akan muncul germo baru.
Sayangnya, dalam Perda Prov NTB No. 5/2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS sama sekali tidak ada pasal yang menawarkan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi penyebaran HIV. Yang dikedepankan hanya moral sehingga tidak menyentuh akar persoalan.
Selama KPA Kota Mataram tetap mengedepankan moral dalam menanggulangi epidemi HIV maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Tinggal menunggu ledakan AIDS karena banyak penduduk yang sudah mengidap HIV tidak terdeteksi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H