Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tes Keperawanan Adalah Diskriminasi

29 September 2010   11:14 Diperbarui: 14 Februari 2024   08:22 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: theprobe.in/stories)

Pemahaman umum terhadap keperawanan adalah keutuhan selaput dara. Kerusakan selaput dara bisa terjadi karena beberapa penyebab, seperti olah raga, kecelakaan, masturbasi, dan perkosaan. Ada lagi pendapat bahwa keperawanan adalah vagina yang belum pernah kemasukan penis. Nah, bagaimana kalau ada vagina yang sudah dimasuki penis tapi selaput daranya masih utuh? Soalnya, bisa terjadi selaput dara tidak pecah ketika terjadi sanggama.

Persoalan baru akan muncul terkait dengan wacana tes keperawanan itu: sekarang ada tindakan medis yang bisa memperbaiki selaput dara Gadis-gadis yang mempunyai uang akan memilih cara ini untuk mengelabui tes keperawanan. Ini lagi-lagi menempatkan perempuan yang miskin kian terpuruk karena tidak bisa membayar biaya untuk operasi selaput dara.

Dalam membicarakan gadis dan perjaka di tataran sosial ternyata masyarakat kita ambiguitas (tidak tegas karena selalu mempunyai penafisaran yang ganda). Laki-laki tidak dibicarakan dari aspek gender (pembedaan antara eksistensi laki-laki dan perempuan di ranah sosial), moralitas, dan kesucian. Sedangkan perempuan selalu dikait-kaitkan dengan gender, kehormatan, noda, dan kesucian. Secara denotatif perjaka adalah remaja pria yang belum pernah melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah.

Tapi, di masyarakat yang ambiguitas, seperti Indonesia, perjaka adalah laki-laki yang belum menikah biar pun faktanya mereka sudah tidak perjaka lagi karena sudah pernah melakukan hubungan seksual. Padahal, perjaka yang belum menikah pun bisa saja sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah sehingga keperjakaan mereka hilang seiring dengan hubungan seksual yang mereka lakukan.

Ini pernyataan Bambang Bayu Suseno lagi: “Idenya sederhana. Bagi yang punya anak gadis, tentu takut anak-anaknya ’dirusak’ sebelum waktunya. Makanya, dengan tes keperawanan sebelum melanjutkan sekolah, anak-anak gadis otomatis bisa menjaga sendiri kehormatannya.”

Pertanyaan ini pun sederhana, Tuan Bambang: Bagaimana hukuman bagi laki-laki yang merusak keperawanan anak-anak gadis itu? Jika Anda hanya melihat kesalahan pada pihak perempuan maka hal itu merupakan diskriminasi. Sekarang pun sekolah-sekolah negeri sudah lama melakukan diskriminasi terhadap siswi yaitu memecat siswi yang hamil. Sedangkan siswa yang menghamili lolos dari jerat hukum. Ironi di negeri yang berbudaya dan beragama. Dilihat dari makna kata maka diskriminasi juga merupakan (perbuatan) maksiat.

Masih menurut Bambang, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini: ” .... jika siswa yang terlanjur sudah menikah dilarang bersekolah di sekolah negeri, kenapa siswa yang tak perawan masih boleh bersekolah. Padahal, prakteknya hampir sama, siswi bersangkutan posisinya bukan lagi sebagai seorang gadis.” Nah, ini juga maksiat (baca: diskriminasi). Mengapa siswa yang tidak perjaka lagi masih boleh sekolah di sekolah negeri?

Ironis

”Selama ini pergaulan anak-anak remaja di Jambi kian memprihatinkan. Kedekatan lawan jenis semakin sulit diawasi orang tua. Pacaran yang menjurus ke arah eksploitasi seksual, dikhawatirkan sudah terjadi.” Ini alasan Bambang untuk mengajukan wacana Ranperda itu. ”Dengan tes keperawanan membayangi, tiap anak gadis secara otomatis bakal menjaga kegadisannya dengan sendiri. Dia tak mudah dipengaruh, tak mudah dibujuk dan tak mudah menyerahkan diri kepada pacar, teman atau pihak lain yang mencari keuntungan dari anak usia belasan.”

Persoalannya adalah tes keperawanan itu dilakukan setelah gadis kehilangan mahkotanya. Menutup pintu bagi gadis-gadis yang tidak perawan lagi untuk mengenyam pendidikan yang menjadi hak mereka dan kewajiban negara menyediakannya akan mematikan harapan hidup mereka. Gadis-gadis yang tidak perawan itu kian terpuruk. Keterpurukan mereka menjadi pintu (baru) ke lembah hitam dan menyuburkan kemiskinan sehingga mendekatkan mereka kepada kekufuran (tidak percaya kepada Tuhan).

Ini pun melanggar hak anak untuk mendapakan pendidikan yang bersifat universal seperti diatur dalam UUD 1945 dan UU Pendidikan Nasional. Agama pun memberikan peluang yang besar untuk mengenyam pendidikan tanpa ada pembatasan berdasarkan keperawanan. Lagi-lagi melarang gadis yang tidak perawan untuk bersekolah di sekolah negeri merupakan perbuatan yang tidak adil karena yang menjadi korban hanya perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun