"32 Balita di Sulawesi Utara Derita HIV." Ini judul berita di tribunnews.com (9/4-2010). Dalam berita disebutkan: "Ini peringatan serius bagi masyarakat yang suka melakukan hubungan seks bebas. Pelaku seks bebas paling rentan terinfeksi HIV/AIDS. Penyakit mematikan ini pun bisa diturunkan kepada anak apabila sang ibu telah terinfeksi." Ada beberapa hal yang tidak akurat dalam pernyataan ini.
Pertama, kalau 'seks bebas' diartikan sebagai zina dan melacur maka pernyataan 'Pelaku seks bebas paling rentan terinfeksi HIV/AIDS' tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara 'seks bebas' dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seks) jika salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seks).
Kedua, disebutkan ' .... penyakit mematikan.' Ini juga tidak akurat karena kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) disebabkan oleh penyakit-penyakit yang muncul setelah masa AIDS (disebut infeksi oportunistik, seperti diareh, sariawan, TB, dll.). Secara statistik masa AIDS terjadi antara 5 - 15 tahun setelah tertular HIV.
Ketiga, ada pernyataan: 'Penyakit mematikan ini pun bisa diturunkan kepada anak apabila sang ibu telah terinfeksi.' Ini pun tidak akurat karena HIV adalah penyakit menular bukan penyakit turunan atau genetika. Kemungkinan penularan HIV dari seorang ibu ke bayi yang dikandungnya berkisar antara 15-25 persen jika tidak ditangani dokter dan di bawah 8 persen jika ditangani dokter.
Data dari KPA Prov Sulut menunjukkan sampai 2009 sudah terdeteksi 616 kasus HIV/AIDS, 32 di antaranya terdeteksi pada bayi di bawah lima tahun atau balita. Angka-angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena banyak peduduk yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteki. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik penduduk yang sudah tertular HIV.
Persoalan yang dihadapi adalah: (a) tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV di masyarakat; (b) informasi HIV/AIDS yang selama ini tidak akurat membuat banyak orang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV; dan (c) banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tinggi tertular HIV.
Dr Meis SJ Tangel-Kairupan, Sekretaris KPA Sulut, mengatakan, ' .... semua balita pengidap HIV tertular dari ibu yang mengandungnya. 100 persen tertular dari ibu." Perlu diingat penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya lebih besar kemungkinanya terjadi pada saat proses persalinan. Itulah sebanya perempuan hamil yang mengidap HIV menjalani operasi caesar kalau melahirkan. Kasus HIV/AIDS pada balita ini saja sudah menyumbang 96 kasus yaitu (32 bayi x 32 ibu x 32 suami).Yang luput dari perhatian adalah 32 suami itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Selain kepada istrinya laki-laki pengidap HIV akan menularkan HIV kepada pacarnya, selingkuhannya, istri mudanya, dan pekerja seks. Angka kasus infeksi HIV pun akan terus bertambah sejalan dengan frekuensi hubungan seksual yang dilakukan laki-laki pengidap HIV yaitu suami ibu-ibu yang menularkan HIV kepada bayinya.
Dr Sutjipto, Ahli Asistensi KPA, menjelaskan, usaha pencegahan yang bisa dilakukan bermacam-macam. Di antaranya, dengan program Preventif of Mother to Child Transmition (PMTCT)--Pencegahan Penularan dari Ibu ke Bayinya. Selama ini cara tersebut efektif mengurangi penularan virus dari ibu yang positif HIV ke bayinya."
Persoalannya adalah di Indonesia tidak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil. Bandingkan dengan Malaysia yang melakukan survailans tes HIV rutin kepada perempuan hamil. Cara ini akan ‘menjaring' perempuan hamil yang mengidap HIVsehingga bisa diterapkan PMTCT.
Menurut Dr Sutjipto, pilihan terbaik bagi ibu yang positif HIV agar memilih tak hamil. Persolannya adalah banyak ibu-ibu rumah tangga yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV dari suaminya. Banyak kasus HIVpada perempuan hamil terdeteksi setelah mendekati melahirkan sehingga upaya untu PMTCT tidak bisa dilakukan pada masa kehamilan. Yang bisa dilakukan untuk menurunkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayinya hanyalah persalinan dengan operasi Caesar.
Sayang, dalam Perda Prov Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS tanggal 22 Juli 2009 tidak ada pasal yang mengatur cara-cara mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil. Ini membuat epidemi HIV di Sulut kian tidak terkendali. Dikhawatirkan banyak perempuan hamil tidak terdeteksi. Kalau pun terdeteksi sudah tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mencegah penularan ke bayi karena terdeteksi saat hendak melahirkan atau terdeteksi pada usia kehamilan yang sudah mendekati persalinan.
Karena disebutkan penularan banyak melalui ‘seks bebas' maka dalam Perda seharusnya ada pasal yang memaksa penduduk, terutama laki-laki, untuk memakai kondom jika melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah di wilayah Sulut dan di luar Sulut dengan pasangan yang bergani-ganti atau dengan yang sering bergani-ganti pasangan. Tapi, karena Perda itu dibalut dengan moral maka penanggulangan yang realistis pun sirna.
Kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat tapi tidak terdeteksi akan menjadi 'bom waktu' ledakan AIDS di masa yang akan datang. Ini sudah terjadi di Thailand. Di awal 1990-an ahli-ahli epidemiologi sudah mengingatkan Negeri Gajah Putih itu tentang penyebaran HIV, tapi pemerintah di sana menampiknya dengan alasan masyarakatnya bebudaya dan beragama. Tapi, apa yang terjadi? Satu dekade kemudian ledakan AIDS benar-benar tejadi. Hampir satu juta penduduk Thailand terdeteksi HIV-positif.
Hal yang sama (akan) terjadi di Indonesia karena saat ini negeri kita merupakan negara ketiga di Asia yang pertambahan kasus HV/AIDS-nya paling tinggi setelah Cina dan India. Indonesia pun dulu menampik dengan alasan yang sama yaitu Indonesia negara berbudaya dan bergama. Thailand beruntung karena vihara mau menampung penderita AIDS. Pertanyaan kita kemudian adalah: Apakah rumah-rumah ibadah di Sulut mau menampung penderita HIV/AIDS kelak?
Lalu, apakah Pemprov Sulut akan menanggulangi epidemi HIV dengan cara-cara yang realistis setelah terjadi ledakan AIDS kelak? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H