Karena disebutkan penularan banyak melalui ‘seks bebas' maka dalam Perda seharusnya ada pasal yang memaksa penduduk, terutama laki-laki, untuk memakai kondom jika melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah di wilayah Sulut dan di luar Sulut dengan pasangan yang bergani-ganti atau dengan yang sering bergani-ganti pasangan. Tapi, karena Perda itu dibalut dengan moral maka penanggulangan yang realistis pun sirna.
Kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat tapi tidak terdeteksi akan menjadi 'bom waktu' ledakan AIDS di masa yang akan datang. Ini sudah terjadi di Thailand. Di awal 1990-an ahli-ahli epidemiologi sudah mengingatkan Negeri Gajah Putih itu tentang penyebaran HIV, tapi pemerintah di sana menampiknya dengan alasan masyarakatnya bebudaya dan beragama. Tapi, apa yang terjadi? Satu dekade kemudian ledakan AIDS benar-benar tejadi. Hampir satu juta penduduk Thailand terdeteksi HIV-positif.
Hal yang sama (akan) terjadi di Indonesia karena saat ini negeri kita merupakan negara ketiga di Asia yang pertambahan kasus HV/AIDS-nya paling tinggi setelah Cina dan India. Indonesia pun dulu menampik dengan alasan yang sama yaitu Indonesia negara berbudaya dan bergama. Thailand beruntung karena vihara mau menampung penderita AIDS. Pertanyaan kita kemudian adalah: Apakah rumah-rumah ibadah di Sulut mau menampung penderita HIV/AIDS kelak?
Lalu, apakah Pemprov Sulut akan menanggulangi epidemi HIV dengan cara-cara yang realistis setelah terjadi ledakan AIDS kelak? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H