Kepanikan menanggapi epidemi HIV yang kian tidak terkendali di Indonesia mendorong beberapa daerah untuk membuat peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Sudah 28 daerah, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menerbitkan Perda. Kabupaten Jembrana, Prov. Bali, juga sudah menerbitkan Perda No 1 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 10 Oktober 2008.
Dari semua perda yang ada ternyata pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV tidak menyentuh akar persoalan. Bahkan, perda-perda itu hanya mengedepankan norma, moral dan agama sebagai ’senjata’ untuk menanggulangi AIDS.
Maka, tidak mengherankan kalau kemudian 11 anggota TNI yang ikut pada Pasukan Perdamaian PBB di Kamboja tertular HIV. Dikhawatirkan tentara kita bertolak ke Kamboja dengan bekal wejangan (baca: moral) dan bedil. Sedangkan tentara Belanda yang juga menjadi bagian dari pasukan perdamaian tidak ada yang tertular HIV. Koq, bisa? Ya, iyalah. Selain membawa bedil tentara Belanda dibekali pula dengan kondom sebagai ’senjata’ untuk melindungi ’si buyung’.
Setelah HIV diidentifkasi sebagai penyebab AIDS dan diakui oleh WHO (1986) maka cara-cara penularan dan pencegahan HIV sudah diketahui. Penularan dan pencegahan HIV dapat dilakukan dengan cara-cara yang rasional karena HIV dan AIDS adalah fakta medis. Artinya, HIV dan AIDS dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.
Tapi, karena selama ini HIV dan AIDS selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama maka fakta medis tentang HIV dan AIDS pun digulung mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, banyak orang yang tidak (mau) menyadari perilakunya berisiko tertular HIV. Akhirnya, penyebaran HIV pun terus terjadi tanpa disadari.
Perempuan Hamil
Lihatlah pasal 7 dan 8 pada perda ini. Pencegahan yang ditawarkan adalah larangan bagi orang-orang yang sudah mengetahui dirinya tertular HIV untuk tidak menularkannya kepada orang lain. Padahal, fakta menunjukkan lebih dari 90 pesen orang-orang yang sudah tertular HIV justru tidak menyadarinya.
Di pasal 8 ayat 1 dan 3 disebutkan larangan bagi yang sudah mengetahui dirinya tertular HIV untuk mendonorkan cairan sperma. Yang didonorkan adalah sperma bukan cairan sperma atau air mani. Di sperma tidak ada HIV. Selain itu di Indonesia tidak ada bank sperma. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri sudah mengeluarkan fatwa bahwa donor sperma haram hukumnya.
Tentang larangan bagi yang sudah mengetahui dirinya tertular HIV untuk mendonorkan darah juga tidak jeminan darah di PMI seratus persen bebas HIV. Soalnya, jika orang-orang yang merasa dirinya tidak tertular HIV, sedangkan ada di antara mereka yang perilakunya berisiko tertular HIV, mendonorkan darah pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan) maka skrining yang dilakukan PMI terhadap darah donor bisa menghasilkan negatif palsu. Artinya, sudah ada HIV di dalam darah tapi tidak terdeteksi. Ini jauh lebih berbahaya daripada darah donor yang terdeteksi positif palsu karena darah ini tidak dipakai, sedangkan darah dengan hasil skrining negatif palsu justru ditransfusikan.
Pasal 8 ayat 4 ada larangan bagi yang sudah mengetahui dirinya tertular HIV untuk memberikan air susu ibu (ASI) miliknya. Persoalannya adalah idak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil. Kita bisa menoleh ke Malaysia yang mempunyai mekanisme untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil yaitu melalui survailans rutin. Dalam perda ini tidak ada mekanisme untuk mendeteksi perempuan hamil yang mengidap HIV.
Salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk adalah perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV, yaitu: (a) pernah atau sering melakakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, dan (b) pernah atau sering melakakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, seperti pekerja seks komersial/PSK langsung (PSK di lokasi, jalanan, losmen, hotel, dll.) atau PSK tidak langsung (karyawan bar, ’cewek sekolahan’, ’cewek kampus’, dll.), serta pelaku kawin cerai.
Fakta di atas diabaikan dalam pasal-pasal pencegahan dan penanggulangan AIDS dalam perda-perda AIDS. Seperti pada Perda Jembrana ini. Pada pasal 9 disebutkan: ”Setiap orang yang melakukan hubungan seksual yang berisiko wajib melakukan upaya pencegahan.” Ini normatif karena memakai kata-kata yang konotatif. Pertama, selama ini ada kesan bahwa hubungan seksual yang berisiko hanya sanggama yang dilakukan di luar nikah, zina, pelacuran, selingkuh, ’jajan’, ’seks bebas’, ’kumpul kebo’, dan homoseksual. Kedua, pencegahan bisa sebagai konotasi karena mengandung banyak arti. Kata ini tidak deskriptif sehingga tidak bersifat denotasi.
Kalau saja perda ini tidak dibalut dengan moral maka pasal ini berbunyi: ”Setiap orang, laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, di wilayah Kabupaten Jembrana atau di luar Kab Jembrana serta di luar negeri, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan wajib memakai kondom.”
Perda-perda AIDS di Indonesia ’diilhami’ keberhasilan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi baru HIV pada laki-laki dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual di lokasi pelacuran atau rumah bordir. ’Angin surga’ itu pun bertiup kencang ke negeri ini. Perda pertama lahir Januari 2003 di Kab Nabire, Papua, terakhir perda di Prov. Sulawesi Selatan (April 2010).
Satu hal yang luput dari pemrakarsa perda AIDS di Indonesia adalah program kodnom itu ternyata ekor dari rangkaian program penanggulangan berskala nasional di Thailand. Maka, perda-perda kita pun mengekor ke ekor program Thailand. Perda-perda AIDS di Indonesia pun bagaikan enclave di Nusantara sehingga ada peluang untuk melanggarnya di daerah lain atau bahkan di luar negeri.
Program tsb. bisa jalan di Thailand karena ada mekanisme yang konkret dalam memantau program yaitu survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap PSK secara rutin. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka pengelola lokasi pelacuran, rumah bordir, atau germo diberikan sanksi berupa teguran sampai pencabutan izin usaha.
Celakanya, di Indonesia, termasuk Kab. Jembrana, tidak ada izin usaha resmi bagi pengelola lokasi pelacuran, rempat-tempat yang dijadikan lokasi pelacuran, atau germo sehingga mekanisme pemantauan tidak bisa dilakukan. Upaya penerapan program itu pun kian rancu. Di pasal 11 disebutkan ‘pemilik dan atau pengelola tempat-tempat hiburan’. Ini tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara tempat hiburan dengan penularan HIV karena tidak ada hubungan seks di tempat-tempat hiburan.
Penyebatan ‘tempat hiburan’ pun konotatif karena tidak jelas apa yang dimaksud ‘tempat hiburan’ dalam perda ini. Ini membuat masyarakat menilai negatif tempat-tempat hiburan. Padahal, perilaku berisiko bisa terjadi oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Celakanya, polisi dan Satpol PP di negeri ini hanya bernyali merazia rumah kontrakan, losmen dan hotel melati. Apakah di apartemen dan hotel-hotel berbintang tidak ada praktek pelacuran (baca: zina)?
Upaya pemantauan yang konkret di Thailand dijabarkan secara implisit di perda ini. Pada pasal 11 ayat 3 disebutkan: ”Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan yang rentan terhadap penularan HIV & AIDS wajib memeriksakan karyawan yang menjadi tanggungjawabnya secara berkala ketempat-tempat pelayanan IMS yang disediakan Pemerintah, Lembaga Nirlaba dan/atau swasta yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.” Ini tidak nalar. Apakah pengusaha biliar, karaoke, music house, diskotek, dan bioskop harus melakukannya? Apakah di tempat-tempat ini terjadi hubungan seksual? Dengan cara ini maka tidak akan tercapai penurunan kasus infeksi baru di kalangan dewasa melalui hubungan seksual karena hubungan seksual berisiko tidak dilakukan di tempat-tempat hiburan itu.
Dukungan pemerintah, dalam hal ini Pemkab Jembrana, dalam menangulangi epidemi HIV sangat diperlukan. Sayang, dukungan yang dijanjikan Pemkab pada pasal 12 tidak menyentuh akar persoalan secara realistis.
Standar ISO
Pada ayat a, misalnya, disebutkan: ”Pemerintah Kabupaten menyediakan sarana prasarana skrining HIV pada semua darah, produk darah, cairan sperma, organ, dan/atau jaringan yang didonorkan.” Seperti yang dijelaskan di atas skrining teradap darah donor bisa enghasilkan negatif palsu. Kita bisa melihat langkah konkret yang dilakukan Malaysia dalam meningkatkan keamanan darah untuk transfusi yaitu menerapkan standar ISO (International Organization for Standardization) melalui standar ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories).
Pada ayat c, disebutkan: ”Pemerintah Kabupaten menyediakan sarana prasarana layanan untuk pencegahan dari ibu hamil yang positif HIV kepada bayi yang dikandungnya.” Ini juga tidak jalan karena tidak ada mekanisme yang konkret dalam mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil. Perempuan yang sudah terdeteksi HIV, terutama yang ditangani oleh LSM, sudah otomatis menerapkan pencegahan penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Sejak HIV diidentikasi sebagai virus penyebab (kondisi) AIDS sudah terbukti HIV dan AIDS adalah fakta medis. Tapi, tetap saja ada pandangan moralistis terhadap HIV dan AIDS sehingga fakta hilang dan mitos yang mencuat.
Pada baigan peran serta masyarakat pada perda ini, misalnya, di pasal 21 ayat 1 butir a disebutkan: ”Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperanserta dalam kegiatan penanggulangan HIV & AIDS dengan cara berprilaku hidup sehat.” Ini tidak konkret karena tidak ada kaitan langsung antara perilaku hidup sehat dengan penularan HIV. Pasal ini juga mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (membeda-bedakan perlakuan) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena mengesankan mereka sebagai orang yang perilakunya tidah hidup sehat.
Di butir b disebutkan: ”Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperanserta dalam kegiatan penanggulangan HIV & AIDS dengan cara meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV & AIDS.” Lagi-lagi ini mitos karena tidak ada kaitan langsung antara ’ketahanan keluarga’ dengan penularan HIV. Lagi pula, apa, sih, yang dimaksud dengan ketahanan keluarga terkait dengan epidemi HIV? Ini juga mendorong masyarakat untuk melakukan stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tertular HIV.
Ancaman pidana terhadap pelanggaran terhadap perda ini tidak akan berguna karena penyebaran HIV jauh lebih besar terjadi tanpa disadari.
Selama cara pandang yang dipakai dalam menanggulangi epidemi HIV tetap berpijak pada moral maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Sudah saatnya kita mengubah sudut pandang yang moralistis dengan paradigma (kerangka berpikir) yang konkret dalam menanggulangi epidemi HIV. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H