Fakta di atas diabaikan dalam pasal-pasal pencegahan dan penanggulangan AIDS dalam perda-perda AIDS. Seperti pada Perda Jembrana ini. Pada pasal 9 disebutkan: ”Setiap orang yang melakukan hubungan seksual yang berisiko wajib melakukan upaya pencegahan.” Ini normatif karena memakai kata-kata yang konotatif. Pertama, selama ini ada kesan bahwa hubungan seksual yang berisiko hanya sanggama yang dilakukan di luar nikah, zina, pelacuran, selingkuh, ’jajan’, ’seks bebas’, ’kumpul kebo’, dan homoseksual. Kedua, pencegahan bisa sebagai konotasi karena mengandung banyak arti. Kata ini tidak deskriptif sehingga tidak bersifat denotasi.
Kalau saja perda ini tidak dibalut dengan moral maka pasal ini berbunyi: ”Setiap orang, laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, di wilayah Kabupaten Jembrana atau di luar Kab Jembrana serta di luar negeri, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan wajib memakai kondom.”
Perda-perda AIDS di Indonesia ’diilhami’ keberhasilan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi baru HIV pada laki-laki dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual di lokasi pelacuran atau rumah bordir. ’Angin surga’ itu pun bertiup kencang ke negeri ini. Perda pertama lahir Januari 2003 di Kab Nabire, Papua, terakhir perda di Prov. Sulawesi Selatan (April 2010).
Satu hal yang luput dari pemrakarsa perda AIDS di Indonesia adalah program kodnom itu ternyata ekor dari rangkaian program penanggulangan berskala nasional di Thailand. Maka, perda-perda kita pun mengekor ke ekor program Thailand. Perda-perda AIDS di Indonesia pun bagaikan enclave di Nusantara sehingga ada peluang untuk melanggarnya di daerah lain atau bahkan di luar negeri.
Program tsb. bisa jalan di Thailand karena ada mekanisme yang konkret dalam memantau program yaitu survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap PSK secara rutin. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka pengelola lokasi pelacuran, rumah bordir, atau germo diberikan sanksi berupa teguran sampai pencabutan izin usaha.
Celakanya, di Indonesia, termasuk Kab. Jembrana, tidak ada izin usaha resmi bagi pengelola lokasi pelacuran, rempat-tempat yang dijadikan lokasi pelacuran, atau germo sehingga mekanisme pemantauan tidak bisa dilakukan. Upaya penerapan program itu pun kian rancu. Di pasal 11 disebutkan ‘pemilik dan atau pengelola tempat-tempat hiburan’. Ini tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara tempat hiburan dengan penularan HIV karena tidak ada hubungan seks di tempat-tempat hiburan.
Penyebatan ‘tempat hiburan’ pun konotatif karena tidak jelas apa yang dimaksud ‘tempat hiburan’ dalam perda ini. Ini membuat masyarakat menilai negatif tempat-tempat hiburan. Padahal, perilaku berisiko bisa terjadi oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Celakanya, polisi dan Satpol PP di negeri ini hanya bernyali merazia rumah kontrakan, losmen dan hotel melati. Apakah di apartemen dan hotel-hotel berbintang tidak ada praktek pelacuran (baca: zina)?
Upaya pemantauan yang konkret di Thailand dijabarkan secara implisit di perda ini. Pada pasal 11 ayat 3 disebutkan: ”Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan yang rentan terhadap penularan HIV & AIDS wajib memeriksakan karyawan yang menjadi tanggungjawabnya secara berkala ketempat-tempat pelayanan IMS yang disediakan Pemerintah, Lembaga Nirlaba dan/atau swasta yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.” Ini tidak nalar. Apakah pengusaha biliar, karaoke, music house, diskotek, dan bioskop harus melakukannya? Apakah di tempat-tempat ini terjadi hubungan seksual? Dengan cara ini maka tidak akan tercapai penurunan kasus infeksi baru di kalangan dewasa melalui hubungan seksual karena hubungan seksual berisiko tidak dilakukan di tempat-tempat hiburan itu.
Dukungan pemerintah, dalam hal ini Pemkab Jembrana, dalam menangulangi epidemi HIV sangat diperlukan. Sayang, dukungan yang dijanjikan Pemkab pada pasal 12 tidak menyentuh akar persoalan secara realistis.
Standar ISO
Pada ayat a, misalnya, disebutkan: ”Pemerintah Kabupaten menyediakan sarana prasarana skrining HIV pada semua darah, produk darah, cairan sperma, organ, dan/atau jaringan yang didonorkan.” Seperti yang dijelaskan di atas skrining teradap darah donor bisa enghasilkan negatif palsu. Kita bisa melihat langkah konkret yang dilakukan Malaysia dalam meningkatkan keamanan darah untuk transfusi yaitu menerapkan standar ISO (International Organization for Standardization) melalui standar ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories).